OLEH IMAM WAHYUDI (JURNALIS SENIOR – ANGGOTA PWI)
TAWA ria dan canda bahagia, berubah seketika menjadi malapetaka. Jumat Keramat yang sekelebat, menuai akibat. Tiga nyawa pun lewat di Pendopo Kabupaten Garut.
Usai ritual Jumatan, langit cerah di atas area Pendopo Bupati Garut — mendadak mendung pilu dalam duka cita. Petaka yang tak pernah terduga datang mendera. Jubelan manusia terjebak dalam himpitan tak karuan. Di antara 26 korban minim oksigen, tiga orang tewas. Vania Aprilia (8 tahun), Dewi Jubaedah (61) dan aparat Bribka Pol. Cecep Saeful Bahri (39).
Tak seorang pun rela mati dalam kerumunan tanpa kendali. Tak juga si penyelenggara menghendaki adanya tragedi. Namun pengalaman berlaku, bahwa setiap kerumunan yang luarbiasa haruslah dicegah, dihindari. Betapa pun maksud hendak membahagiakan sebanyak mungkin warga. Di sana pula tampak potret kesenjangan ekonomi.
Bagaimana mungkin, ketika manusia merangsek maju ke arah pintu gerbang — justru diberlakukan buka-tutup. Karuan gerbang menjadi tembok yang memicu himpitan massa. Volume oksigen berpotensi menipis, minim ruang menghela nafas. Pasrah dalam desakan empat arah. Bertumbuk gerbang yang berubah menjadi tembok penghalang.