TERASJABAR.ID – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, menyoroti kebijakan pemerintah yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium secara berbeda-beda di tiap daerah.
Menurutnya, sistem ini justru membuka celah terjadinya praktik melawan hukum di lapangan.
Alex menegaskan, seharusnya beras diberlakukan satu harga secara nasional, sama seperti bahan bakar minyak (BBM).
“Beras adalah kebutuhan pokok rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Harusnya satu harga sebagaimana BBM,” ujarnya, seperti ditulis Parlementaria pada Kamis (28/8/2025).
Kebijakan Baru Bapanas soal HET Beras
Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 299 Tahun 2025, yang menetapkan kenaikan HET beras medium secara variatif.
BACA JUGA: Pembubaran DPR, Mahfud MD: Tak Realistis dan Terlalu Mengada-ada
Kenaikan harga berkisar Rp900 hingga Rp2.000 per kilogram, dengan standar mutu antara lain:
Derajat sosoh minimal 95%
Kadar air maksimal 14%
Butir menir maksimal 2%
Butir patah maksimal 25%
Butir beras lain maksimal 4%
Butir gabah maksimal 1%
Benda asing maksimal 0,05%
BACA JUGA: Adian Napitupulu: Makin Korup Sebuah Negara, Kian Banyak Undang-Undang yang Dibuat
Bapanas membagi wilayah Indonesia ke dalam delapan kluster harga.
Misalnya, Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan ditetapkan Rp13.500/kg, sementara Maluku dan Papua Rp15.500/kg.
Alex menilai pembagian kluster tersebut akan merepotkan pengawasan, apalagi lembaga pengawas HET di pasar belum jelas.
Ia mengingatkan bahwa berdasarkan SNI 6128:2020, beras sudah dibagi ke dalam beberapa kelas: Premium, Medium I, Medium II, dan Medium III.
Menurutnya, pola subsidi beras sebaiknya mengikuti mekanisme subsidi BBM.
Pemerintah hanya menetapkan satu kategori tertentu yang disubsidi.
Dengan begitu, harga beras bisa seragam di seluruh Indonesia.
Alex menyarankan pemerintah menentukan standar mutu beras mana yang akan mendapat subsidi.
Hal ini akan mempermudah perhitungan anggaran, sekaligus memastikan subsidi tepat sasaran, misalnya dengan merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kemensos.
“Kalau negara tekor demi melayani rakyat, itu wajar. Yang tidak boleh rugi adalah pihak swasta karena orientasinya bukan pelayanan publik,” tutupnya.- ***