Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes.
Sejak disahkan tanggal 21 April 2008 silam oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena kebutuhan adanya Undang-undang yang lebih spesifik soal Teknologi Informasi (TI) dibanding UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999 yang sudah dianggap tidak mampu menangani kasus-kasus TI yang mulai marak di masyarakat, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 2008) ini awalnya disusun berdasarkan 2 (dua) konsep sekaligus, yakni Rancangan UU Informasi Elektronik Transaksi Elektronik (RUU-IETE) dan Rancangan CyberLaw-nya Indonesia.
Dengan latar belakang: kebutuhan regulasi transaksi elektronik (e-commerce, tanda tangan digital, keamanan data), UU ITE ini awalnya lebih bertujuan untuk mengatur dan mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah, Mengatur transaksi elektronik, tanda tangan digital, penyelenggara sistem elektronik. Namun karena sejak awal ada konsep CyberLaw-nya juga, maka didalamnya ada delik pidana, misalnya Pasal 27 ayat (3): pencemaran nama baik melalui media elektronik, Pasal 28 ayat (2): penyebaran kebencian/permusuhan berdasarkan SARA dan Pasal 29: ancaman kekerasan dan menakut-nakuti dengan Ancaman pidana: bervariasi, 6–12 tahun penjara dan Denda Rp 1–12 miliar saat itu.
Dikarenakan sejak lahir ada pasal-pasal yang memuat delik pidana diatas inilah, maka UU ITE kerap dikritik karena banyak dipakai untuk kriminalisasi warga, aktivis, jurnalis, bahkan ibu rumah tangga. Dua contoh yang sempat viral / terkenal diantaranya adalah kasus Prita Mulyasari (2008–2012) dimana dia sempat mengeluhkan layanan RS Omni Internasional Tangerang lewat email pribadi dan digugat dengan Pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)). Sempat ditahan selama tiga minggu, meski kemudian bebas lewat MA. Menariknya kasus yang saya terlibat langsung selaku Ahli yang membelanya ini sempat memunculkan gerakan publik “Koin untuk Prita”. Kemudian ada kasus Florence Sihombing (2014) seorang mahasiswa UGM Jogja yang memposting komentar negatif di Path soal SPBU Yogya. Dia dijerat Pasal 27 ayat (3), ditahan sehari, kasus dicabut setelah mediasi.
Kasus-kasus diatas mendorong dilakukannya Revisi Pertama UU ini menjadi UU No. 19 Tahun 2016 yang dsahkan tanggal 25 November 2016 oleh Presiden Jokowi, dimana alasan utama dilakukannya revisi pertama ini karena banyak kritik akibat UU ITE dipakai kriminalisasi, terutama Pasal 27 ayat (3). Secara detail perubahan krusial untuk Pasal 27 ayat (3) ini tetap ada, tapi dijelaskan lebih ketat, dimana delik aduan absolut (hanya bisa diproses bila ada pengaduan langsung dari korban) dan dilakukan pengurangan ancaman hukuman dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara.dan Denda yang semula Rp1 miliar diturunkan jadi Rp750 juta. Selain itu ada penambahan aturan “Right to be forgotten” (hak penghapusan konten atas putusan pengadilan).