Oleh Subchan Daragana
Anggota Kadin/Pengusaha selama 30 thn
Ada rumah yang dulu hangat, tempat para pengusaha pulang untuk bertukar cerita, berbagi ide, dan mencari jalan keluar dari peliknya dunia usaha. Rumah itu bernama Kamar Dagang dan Industri Indonesia — atau yang kita kenal sebagai Kadin. Ia didirikan bukan semata sebagai lembaga formal, melainkan sebagai wadah kebersamaan, laboratorium, pertumbuhan, dan jembatan antara pengusaha dan negara.
Namun kini, rumah itu seperti kehilangan penghuninya. Dindingnya dipenuhi retakan konflik, ruang tamunya gaduh oleh perebutan kepentingan, dan pintu depannya tertutup bagi para pengusaha muda yang ingin belajar dan berkembang. Tak lagi terasa hangat, tak lagi dirindukan.
Kadin kini tampak seperti rumah megah yang sibuk dengan dirinya sendiri, sementara penghuninya terlantar di luar pagar, mencari arah dan makna keberadaannya.
Rumah yang Kehilangan Ruh:
Kadin dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987, yang secara jelas menegaskan perannya sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antara dunia usaha dan pemerintah. Ia bukan alat politik, bukan panggung pribadi, bukan arena untuk membangun kekuasaan.
Semangat dasarnya adalah memperkuat dunia usaha nasional, dari skala besar hingga kecil, dari industri manufaktur hingga sektor jasa.
Tapi seiring waktu, Kadin kehilangan ruh itu. Yang semestinya menjadi ruang kolaborasi kini berubah menjadi arena kompetisi. Yang seharusnya menjadi tempat membangun ekonomi bangsa, malah menjadi tempat mempertontonkan perebutan legitimasi dan klaim kepemimpinan.
Kita menyaksikan konflik demi konflik, baik di tingkat nasional maupun daerah, termasuk di Jawa Barat — wilayah yang seharusnya menjadi contoh kematangan organisasi, justru ikut terseret arus perpecahan.
Kadin hari ini seperti lupa bahwa kekuatannya bukan terletak pada siapa ketuanya, tapi pada siapa yang merasa memiliki rumah itu. Dan sayangnya, semakin banyak pengusaha yang merasa tak lagi punya rumah di sana.