Oleh : Subchan Daragana
Pemerhati Sosial
Ada satu sifat yang perlahan memudar di tengah hiruk pikuk dunia modern — empati.
Sifat yang dulu menjadi ciri manusia berhati lembut, kini terasa semakin langka. Kita masih berbicara, masih saling bertemu, bahkan tersenyum di depan layar, namun seringkali hati kita sudah jauh. Kita tidak benar-benar mendengar, tidak benar-benar hadir, dan tidak lagi mampu merasakan apa yang orang lain rasakan.
Empati, dalam makna sejatinya, adalah kemampuan menempatkan diri di dalam perasaan orang lain. Bukan hanya memahami dari kepala, tapi turut merasakan dari hati. Bahasa Arab mengenalnya dengan ta‘āṭuf — saling berbelas rasa — dan rahmah, kasih sayang yang mendorong tindakan nyata. Maka, orang yang berempati bukan sekadar merasa iba, tapi tergerak untuk meringankan. Ia hadir, bukan sekadar tahu.
Rasulullah ﷺ adalah teladan tertinggi dalam hal ini. Beliau mempercepat bacaan shalat ketika mendengar tangisan bayi agar sang ibu tak resah. Beliau meneteskan air mata saat melihat penderitaan umatnya, dan melarang sahabat mengambil anak burung dari sarangnya agar induknya tidak gelisah.
Empatinya begitu halus, menjangkau seluruh makhluk. Karena kasih beliau bukan lahir dari rasa kasihan, tapi dari pandangan cinta — cinta seorang hamba yang hatinya selalu terhubung dengan Allah.
Empati bukan sekadar kemampuan sosial, tapi kondisi spiritual. Hati yang telah disucikan akan mudah menangis karena penderitaan orang lain. Imam Al-Ghazali pernah menulis, “Hati yang bersih melihat dirinya dalam diri orang lain.” Maka, ketika seseorang tidak lagi mampu merasakan apa yang orang lain rasakan, itu pertanda bahwa hatinya mulai keras, tertutup oleh debu ego dan kesibukan dunia.
Kini, ruang-ruang empati di sekitar kita seakan menipis.
Di rumah, suami dan istri sering lebih cepat membela diri daripada saling memahami. Ketika satu mengeluh, yang lain sibuk menjelaskan bahkan menyalahkan , bukan mendengarkan. Padahal terkadang, pasangan kita tidak butuh solusi — hanya butuh dipeluk, didengarkan, dan dirasakan.
Orang tua pun kadang lupa bahwa anak bukan sekadar objek nasihat, tetapi jiwa yang juga ingin dimengerti. Nasehat tanpa empati mudah terdengar seperti perintah; sementara empati membuat nasihat menjadi pelukan yang menenangkan.
Di dunia kerja dan bisnis, empati sering kalah oleh hitung-hitungan keuntungan. Kita menilai mitra dari laba, bukan dari rasa. Padahal kerja sama tanpa empati hanyalah transaksi, bukan kemitraan. Dan di ruang kekuasaan, banyak pejabat kehilangan empati terhadap rakyatnya. Mereka berbicara tentang pembangunan, tapi lupa mendengar tangisan di balik tembok rumah yang roboh. Padahal kepemimpinan sejati lahir dari kemampuan untuk merasakan — bukan hanya memerintah.
Dalam pandangan psikologi, empati adalah jembatan emosional antara dua hati. Ia tumbuh dari kepekaan mendengar, memahami bahasa tubuh, dan membuka diri terhadap luka orang lain. Orang yang berempati tidak mudah menghakimi, karena ia tahu: setiap orang membawa beban yang tak terlihat.
Empati juga menumbuhkan ketenangan. Hati yang mampu merasakan orang lain akan lebih mudah bersyukur, lebih lapang memaafkan, dan lebih lembut dalam bersikap.