TERASJABAR.ID – Anggota DPD RI Aanya Rina Casmayanti kunjungan ke Subang menutup rangkaian road show DPD RI di Jawa Barat tahun 2025.
Kunjungan di forum penutup inilah berbagai persoalan struktural daerah muncul ke permukaan
Wakil Bupati Subang, Agus Masykur Rosyadi, menyampaikan kegelisahan yang mencerminkan situasi fiskal daerah yang kian menantang.
“Tahun depan ada pemotongan Rp 361 miliar transfer keuangan dari pusat. Bisa jadi ini rapat terakhir yang ada anggaran makan minumnya,” ujar Agus
Pernyataan itu bukan sekadar lelucon. Ia menggambarkan betapa gentingnya kondisi keuangan daerah yang berpotensi menghambat realisasi berbagai program pembangunan.
Wakil Bupati Agus menyoroti pentingnya pemekaran wilayah sebagai salah satu solusi.
“Kami mendorong pemekaran Subang Utara yang penduduknya lebih banyak. Mohon dengan dorongan dari Ibu Aanya, moratorium DOB dibuka,” katanya.
Ia juga mengusulkan pemekaran desa. Menurutnya, jumlah desa di Subang saat ini masih tergolong sedikit dibanding daerah lain.
“Jumlah desa di Subang baru 245. Ke depan kami ingin lebih banyak melakukan pemekaran desa,” tambahnya.
Sebagai perbandingan, Kabupaten Majalengka yang luasnya sekitar 1.200 km² memiliki 347 desa.
“Artinya, kalau dana desa Majalengka Rp347 miliar, Subang yang lebih luas hanya Rp245 miliar,” jelasnya.
Menanggapi hal ini, Aanya Rina Casmayanti menyatakan dukungan terhadap rencana pemekaran Subang Utara demi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, dengan catatan tetap mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah.
Masalah Fiskal: Bukan Hanya Cerita Subang
Krisis keuangan yang dialami Subang ternyata bukan kasus tunggal. Herman Hermawan dari Kantor Perwakilan DPD RI Jawa Barat menjelaskan:
“Hampir semua kabupaten/kota di Jawa Barat menghadapi masalah fiskal. Hanya sekitar enam daerah yang relatif sehat,” ujarnya.
Artinya, Subang hanyalah bagian dari persoalan sistemik di Jawa Barat. Setelah DPD kalah suara di Senayan terkait penolakan pemotongan dana transfer, seluruh daerah kini harus menanggung dampaknya bersama.
Lahan Terlantar: Warisan Konflik yang Tak Kunjung Usai
Isu agraria juga tak kalah pelik. Asda II Setda Subang menyoroti persoalan lahan eks HGU PTPN I dan II.
“Di lokasi tanah PTPN itu sudah banyak masyarakat menempati karena sudah dibagikan oleh negara. Dampaknya sering terjadi konflik,” ujarnya.
Wakil Bupati Agus menambahkan permohonan agar masyarakat mendapat kepastian hukum atas lahan tersebut. Permintaan ini mencerminkan urgensi penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun.
Dilema Pembangunan: Jalan Rusak demi Proyek Strategis
Kepala Dinas Perhubungan Subang mengungkap sisi lain pembangunan infrastruktur:
“Penutupan galian ilegal bukan tanpa dampak. Material untuk proyek PSN sekarang diambil dari luar Subang, tapi truk pengangkutnya justru merusak jalan,” ujarnya.
Ironi ini menegaskan paradoks pembangunan—ketika proyek strategis nasional malah menimbulkan kerusakan infrastruktur lokal dan menyulitkan warga setempat.
Kolaborasi Jadi Jalan Keluar
Menanggapi berbagai persoalan itu, Aanya menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga.
“Minggu depan saya akan bertemu dengan pihak PTPN. Kami akan tanyakan solusi bagi kawasan terlantar di Subang,” ujar Aanya.
Menuju Subang yang “Ngabret”
Menutup pertemuan, Wakil Bupati Agus menyampaikan optimisme:
“Mudah-mudahan dengan berkembangnya Subang Utara, Subang ini akan ‘Ngabret’.”
Semangat itu disambut baik, meski perlu diingat bahwa pemekaran bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi antara DPD RI dan Pemkab Subang dalam kunjungan ini menjadi bukti komitmen bersama untuk mencari solusi nyata atas persoalan kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik dan berkelanjutan.
“Tolong disertai data dan progres terakhir proses yang sudah ditempuh.” pinta Aanya.
Dengan kerja berbasis data, transparan, dan akuntabel, harapannya Subang benar-benar bisa “Ngabret” menuju masa depan yang lebih sejahtera.***