Oleh Subchan Daragana
Ada cinta yang tak perlu diucapkan, tak butuh tepuk tangan, tak menuntut balasan — itulah ikhlas.
Cinta yang diam-diam bekerja dari dalam dada, menggerakkan tangan untuk memberi, bahkan ketika hati sebenarnya masih ingin menyimpan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Ayat ini tidak sekadar memerintahkan sedekah. Ia mengajak manusia belajar melepaskan. Bukan dari kelebihan, tapi dari yang dicintai. Bukan sekadar memberi harta, tapi menukar cinta dunia dengan cinta Allah.
Sebab ukuran sejati cinta bukan seberapa besar yang dimiliki, tapi seberapa rela kita melepaskannya.
Kisah Abu Thalhah menjadi teladan abadi. Ketika turun ayat ini, ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha. Aku ingin mensedekahkannya karena Allah.”
Itulah momen ketika cinta kepada harta berubah menjadi cinta kepada Allah.
Dan Rasulullah menuntunnya untuk membagi kebun itu kepada kerabat dan orang miskin — agar manfaatnya meluas, sebagaimana cinta yang tulus selalu menular.
Ikhlas adalah tanda cinta yang matang.
Ia tidak sekadar berbagi, tapi menandakan bahwa hati telah dewasa dalam beriman. Orang ikhlas bukan tidak punya keinginan, tapi telah menemukan kedamaian dalam ketentuan Tuhan. Ia tidak lagi sibuk menghitung siapa yang tahu, siapa yang memuji, siapa yang membalas. Ia hanya ingin dilihat oleh Allah.
Dalam tafsir para ulama, disebutkan bahwa ikhlas adalah ruh amal.
Amal tanpa ikhlas ibarat tubuh tanpa jiwa — mungkin tampak hidup, tapi sebenarnya hampa.
Sebab ikhlas memurnikan niat, mengubah aktivitas duniawi menjadi ibadah ukhrawi.
Ketika seseorang bekerja dengan niat menafkahi keluarga karena Allah, maka setiap keringatnya bernilai pahala.
Ketika seseorang memberi karena cinta kepada Allah, bukan karena ingin disebut dermawan, maka setiap sedekahnya menjadi cahaya di sisi-Nya.
Namun, keikhlasan bukan hal yang mudah.
Ia harus dilatih, seperti halnya otot hati yang menguat setiap kali diuji.
Kadang saat memberi, muncul rasa ingin dipuji. Saat menolong, ada bisikan ingin dihargai.
Di sanalah latihan cinta sejati dimulai — menundukkan ego agar yang tampak hanyalah Allah.
Ikhlas bukan berarti pasrah tanpa arah. Ia tetap menuntut ikhtiar, tetap bekerja, tetap memberi yang terbaik. Tapi di ujung semua usaha, ia menyerahkan hasilnya kepada Sang Pemilik segalanya.
Ikhlas adalah bentuk cinta paling tinggi: cinta yang tidak mengikat, tapi membebaskan; cinta yang tidak menuntut, tapi memberi tanpa henti.