Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial dan Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Bakrie
“Kita semakin terhubung melalui layar, tetapi semakin jauh dalam rasa.” Sherry Turkle, Alone Together (2011)
Kita hidup di masa di mana orang merasa perlu dilihat agar dianggap ada. Media sosial yang semula dirancang untuk berbagi cerita kini berubah menjadi panggung besar, tempat manusia mempertontonkan dirinya sendiri. Di sana, tawa dan tangis menjadi tontonan, kemiskinan jadi konten, bahkan aib pun dijadikan bahan hiburan.
Fenomena ini bukan lagi sekadar perubahan gaya hidup, melainkan sebuah anomali digital, penyimpangan sosial yang mengubah makna manusia sebagai makhluk bermoral menjadi sekadar makhluk visual.
Dalam pandangan sosiologi klasik, Émile Durkheim menyebut kondisi seperti ini sebagai anomie , keadaan ketika norma-norma sosial kehilangan daya ikatnya. Nilai malu, empati, dan moral publik kian kabur. Di dunia nyata, seseorang mungkin menunduk saat malu.
Tapi di dunia digital, ia justru menengadahmenghadap kamera, menyiarkan rasa malunya, dan menunggu reaksi. Kita tidak lagi sekadar ingin dimengerti, tetapi ingin ditonton. Aneh tapi nyata: dunia digital membuat manusia nyaman dalam keterbukaan yang tak wajar.
Dalam kacamata komunikasi media, ini bagian dari apa yang disebut sebagai ekonomi perhatian (attention economy). Perhatian publik kini menjadi mata uang baru. Yang paling menarik perhatian entah dengan cara cerdas atau aneh ialah yang paling berkuasa.
Platform digital memelihara logika ini melalui algoritma: semakin ekstrem atau emosional suatu konten, semakin besar kemungkinan ia muncul di beranda kita. Maka lahirlah budaya oversharing, clickbait, dan pencitraan ekstrem demi eksistensi digital. Banyak yang sengaja menampilkan kemiskinan, keputusasaan, bahkan tubuh sendiri, bukan karena butuh empati, tapi karena tahu itu akan ditonton.
Padahal, seperti dikatakan Shoshana Zuboff (2019) dalam The Age of Surveillance Capitalism, kita tidak lagi menjadi pengguna media sosial, melainkan produk yang dijual. Setiap emosi yang kita bagikan, setiap air mata yang direkam, adalah data yang dikonversi menjadi keuntungan. Dunia digital tampak bebas, tapi sejatinya kita sedang dijajah oleh algoritma yang diam-diam membentuk perilaku kita.












