( Hidup di Dunia Nyata , Seolah ada di dunia Maya )
Oleh : Subchan Daragana
Pemerhati Komunikasi dan Sosial, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie.
Dunia hari ini seperti tak punya jeda. Setiap detik, kita menatap layar, men scroll kabar, memberi tanda like, lalu beranjak ke notifikasi berikutnya. Kita hidup dalam arus data, di mana semuanya serba cepat, serba instan, dan serba terlihat. Kita terkoneksi hampir setiap saat namun entah mengapa, sering kali merasa sendiri.
Inilah zaman ketika manusia tak sekadar menggunakan teknologi, tetapi hidup di dalamnya. Para sosiolog menyebutnya era “homo digital”, manusia yang eksistensinya melekat pada dunia digital. Kita bukan lagi hanya homo sapiens , manusia yang berpikir, atau homo socius , manusia yang bersosialisasi, tapi manusia yang membangun makna lewat algoritma dan layar kaca.
Fenomena ini membuat batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur. Kita tertawa lewat emoji, berduka lewat story, dan mencintai lewat direct message. Seperti kata Sherry Turkle, profesor di MIT, “Kita bersama, tapi sendiri.”
Teknologi yang semula dimaksudkan mendekatkan, justru menciptakan jarak yang sunyi.
Sebagai makhluk sosial, kita memang selalu mencari pengakuan dan kedekatan. Tapi di dunia digital, kedekatan itu berubah bentuk: dari sentuhan menjadi notifikasi, dari tatapan mata menjadi like, dari kehadiran menjadi view count. Kita terhubung, tapi kehilangan makna.
Dalam pandangan filsafat manusia, ini adalah bentuk mutasi eksistensial. Manusia perlahan berpindah dari ruang fisik ke ruang maya, dari realitas menjadi representasi. Di dunia digital, citra sering lebih penting daripada isi. Orang berlomba menunjukkan versi terbaik dari dirinya, bahkan jika harus berpura-pura bahagia.















