Oleh : Subchan Daragana
Magister Komunikasi UBakrie
Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta baru-baru ini menyisakan luka dan tanya yang dalam. Di balik kabar bahwa pelaku sering menjadi korban bullying, publik tersadar: ada sesuatu yang genting sedang terjadi di ruang-ruang sekolah kita. Kekerasan yang seharusnya asing di lingkungan belajar kini justru muncul dari antara anak-anak kita sendiri.
Bullying bukan sekadar ejekan sepele atau candaan yang kebablasan. Dalam ranah psikologi, bullying adalah bentuk kekerasan sistematis fisik, verbal, sosial, atau digital yang menempatkan seseorang dalam posisi lemah dan tertekan. Para ahli seperti Olweus (1993) menyebutnya sebagai tindakan agresif yang dilakukan berulang, melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.
Dalam konteks digital, ia menjelma menjadi cyberbullying, penghinaan, penyebaran foto atau video pribadi, serta serangan komentar di media sosial yang bisa melukai jauh lebih dalam daripada tamparan fisik.
Generasi Z dan Alpha yang tumbuh bersama gawai dan media sosial ternyata hidup di dunia yang paradoksal. Di satu sisi, mereka lebih terkoneksi, kritis, dan ekspresif. Namun di sisi lain, mereka juga lebih rentan terhadap tekanan sosial, perbandingan diri, dan serangan digital. Studi dari UNICEF (2022) menyebut hampir 45% remaja Indonesia pernah mengalami bullying, baik di sekolah maupun daring. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak yang menormalisasi kekerasan itu sebagai “candaan teman.”
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi tumbuhnya karakter dan ilmu, justru menjadi ladang subur bagi perilaku saling merendahkan. Budaya senioritas, tekanan akademik, hingga lemahnya keteladanan guru dalam mengelola empati memperburuk keadaan. Dalam riset KPAI (2023), laporan kasus kekerasan di sekolah meningkat lebih dari 20% dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar berakar pada masalah sepele yang tidak pernah diselesaikan secara sehat.
Pengasuhan di rumah pun ikut berperan. Banyak orang tua yang tanpa sadar menanamkan pola asuh otoriter atau permisif berlebihan. Anak yang terbiasa dipukul karena salah kecil, atau justru dibiarkan tanpa batas, tumbuh tanpa kemampuan mengelola emosi dan empati. Ia belajar bahwa kekerasan adalah bahasa yang sah. Dalam kaca mata komunikasi, ini disebut modeling behavior, anak meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya sebagai rujukan bertindak.

















