Oleh : Subchan Daragana
Magister Komunikasi UBakrie/ Ayah dari 3 Anak Perempuan
Ada masa dalam hidup ketika kematian terasa jauh hanya sebuah kata, hanya sebuah berita, hanya sebuah upacara yang kita datangi untuk menunjukkan belasungkawa. Tapi kemudian, suatu hari, tiba-tiba orang yang pergi itu bukan lagi “orang jauh”. Bukan sekadar nama di pengumuman masjid. Ia sahabat kita sendiri. Teman seperjalanan. Rekan seperjuangan. Seseorang yang kemarin masih bercanda, dan hari ini terbaring tanpa suara.
Setahun terakhir, banyak sahabat yang pergi mendadak. Tanpa sakit panjang. Tanpa keluhan. Tanpa perpisahan. Hanya satu kalimat pendek , Innalillahi wa inna ilayhi raji’un. Dan setelah itu hening panjang yang menusuk dada.
Kematian teman adalah panggilan halus dari Allah:
“Giliranmu sedang mendekat… apa yang sudah engkau siapkan?”
Pertanyaan itu lahir bukan dari kecemasan, tetapi dari kesadaran. Dari hati yang hidup. Dari jiwa yang mulai melihat dunia apa adanya: sebuah tempat singgah.
Tentang Sisa Usia yang Tidak Kita Tahu:
Manusia sering merasa masih punya banyak hari. Masih punya banyak kesempatan. Masih punya banyak waktu untuk memperbaiki diri. Namun Allah berfirman:
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.”
(QS. Luqman: 34)
Dan wafatnya sahabat terutama yang “tampak sehat”, adalah cara Allah menyadarkan bahwa detik hidup tidak ada yang menjamin panjang.


















