Di zaman ini, banyak perempuan yang juga kuat tapi kekuatannya sering diarahkan untuk melawan, bukan menenangkan.
Padahal, kekuatan Asiyah bukan pada keberaniannya melawan suami tiran, tapi pada kemampuannya menjaga cahaya iman di tengah kegelapan.
Ibu Berlari, Ayah Tertinggal Fenomena menarik hari ini ibu-ibu semakin religius, para Ayah semakin pasif secara spiritual. Majelis taklim penuh oleh perempuan. Grup kajian daring ramai oleh ibu2. Sementara banyak suami kehilangan “kompas iman” tenggelam dalam kesibukan, gengsi, atau diam yang terlalu panjang.
Ketimpangan ruhani ini menciptakan kekosongan kepemimpinan batin di rumah.
Ketika suami berhenti menjadi imam, rumah kehilangan arah qiblatnya.
Dan ketika nilai-nilai agama diambil dari potongan video pendek, bukan dari bimbingan hikmah, maka rumah tangga mudah rapuh oleh emosi sesaat.
Paradoksnya, masyarakat kita semakin religius secara tampilan, tapi semakin rapuh secara perasaan.
Para dai kini dihadapkan pada tantangan baru. Dakwah tentang rumah tangga sering berhenti pada ayat dan hukum, tapi jarang menyentuh psikologi komunikasi pasangan. Padahal, Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam hal kelembutan emosional. Ia mendengarkan, memanggil istrinya dengan panggilan kasih, bahkan menenangkan Aisyah ketika cemburu.
Rasul tidak hanya mengajarkan iman, tapi juga cara mencintai dengan rahmah.
Kita butuh dai yang kembali berbicara dengan hati, tentang bagaimana mendengar tanpa menghakimi, menuntun tanpa memerintah, dan menegur tanpa melukai.
Sosiolog modern menyebut fenomena ini sebagai “fragmentasi spiritual”, suami dan istri kini hidup dalam “ruang nilai” yang berbeda. Istri belajar dari ustazah online, suami dari motivator bisnis, anak dari influencer muda. Keluarga tidak lagi punya satu sumber nilai yang sama. Akibatnya, setiap anggota berjalan di jalan iman yang berbeda arah.
Dulu, rumah adalah madrasah pertama, kini, rumah menjadi sekadar persinggahan.
Padahal, rumah yang sejati adalah tempat dua jiwa saling tumbuh dalam cinta dan ibadah bukan tempat dua ego saling menuntut pembenaran.
Islam menempatkan rumah tangga sebagai jalan menuju surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Maka kepemimpinan suami bukan kekuasaan, melainkan tanggung jawa kasih.
Ketaatan istri bukan keterpaksaan, melainkan penghormatan pada sistem ilahi yang menumbuhkan harmoni.
Rumah adalah madrasah sakinah tempat iman bertumbuh dalam keseharian , saling mendengar, saling mendoakan, saling menenangkan. Tanpa itu, rumah hanya jadi bangunan indah tanpa ruh.

















