Ambil contoh soal sampah. Bandung menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah per hari. Namun, data menunjukkan hanya sekitar 1.266 ton yang bisa terangkut ke TPA Sarimukti; sisanya, sekitar 230 ton per hari, menumpuk di TPS atau bahkan terbengkalai di jalanan. Dari jumlah tersebut, hampir 44,5% adalah sampah organik—sisa makanan dan bahan dapur yang sebenarnya bisa diolah.( sumber Pikiran rakyat 2024 ).
Kebijakan pemerintah seperti program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) bisa kita ibaratkan sebagai posting. Namun, apa gunanya postingan itu jika warga hanya menekan tombol like dalam bentuk tepuk tangan atau slogan, tetapi tetap membuang sampah sembarangan? Inilah PR besar: bagaimana mengubah posting menjadi engagement nyata.
Engagement: Dari Tontonan Menjadi Aksi
Di dunia digital, engagement adalah interaksi. Ia bukan sekadar jumlah pengikut, tetapi seberapa banyak orang berkomentar, berdiskusi, bahkan melakukan tindakan setelah melihat konten. Jika konsep ini diterapkan pada kota, maka keberhasilan pemerintah tidak diukur dari banyaknya program diumumkan, tetapi sejauh mana masyarakat benar-benar terlibat.
Ambil isu kemiskinan. Secara provinsi, Jawa Barat mencatat penurunan jumlah penduduk miskin dari 3,85 juta jiwa (Maret 2024) menjadi 3,67 juta jiwa (September 2024)—turun sekitar 0,38%. Namun di Kota Bandung, masalah yang mencuat justru soal data kemiskinan yang semrawut. Ada DTKS, ada P3KE, ada Regsosek—basis data yang berbeda-beda sehingga mempersulit penyaluran bantuan. Jika data tidak rapi, bagaimana warga bisa percaya dan ikut terlibat? ( sumber : Badan Pusat statistik 2024 ).
Kemudian literasi sosial. Bandung dikenal sebagai kota pelajar, tetapi masih banyak kawasan di mana minat baca rendah. Program seperti Duta Baca Kota Bandung memang ada, bahkan mahasiswa meluncurkan gerakan “Liter-Aksi BaTuP”. Namun, tanpa engagement warga—misalnya, keluarga meluangkan waktu membaca bersama anak, RT/RW mengadakan pojok baca—semua itu hanya jadi slogan tanpa daya. ( sumber : ayobandung.com 2024 ).
Engagement inilah yang membedakan komunikasi sejati lebih dari sekadar PR pemerintah. Jika komunikasi hanya pencitraan, kota akan ramai dengan baliho dan iklan layanan masyarakat. Tetapi bila komunikasi publik menjadi ajakan kolaboratif, masyarakat merasa dilibatkan, bahkan menjadi bagian dari solusi.