5. Upaya Pemisahan yang Gagal
Pihak keluarga laki-laki dan kepala dusun setempat, Ehsan, sempat berusaha membatalkan pernikahan karena usia kedua mempelai yang masih di bawah umur. Namun, keluarga Nur Herawati tetap bersikeras melanjutkan pernikahan, dengan alasan bahwa jika dipisahkan, pasangan ini kemungkinan akan kembali bersama. Akibatnya, pernikahan dilangsungkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan KUA atau aparat desa. Hal ini menunjukkan tantangan dalam menegakkan hukum terkait batas usia pernikahan di tengah tekanan adat dan sosial.
6. Dampak Pernikahan Dini
Pernikahan anak seperti ini membawa dampak serius, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Menurut organisasi Girls Not Brides, sekitar 12 juta anak perempuan di dunia menikah di bawah umur setiap tahun, menghadapi risiko eksploitasi rumah tangga, kekerasan seksual, hingga kematian saat melahirkan. Di Lombok, pernikahan dini sering kali menyebabkan anak putus sekolah, seperti yang terjadi pada Suhaimi, yang kini berhenti sekolah dan berjualan sabun keliling untuk menafkahi keluarganya. Nur Herawati, yang masih berstatus pelajar SD, juga berisiko kehilangan kesempatan pendidikan.
7. Regulasi dan Upaya Pencegahan
Pemerintah Indonesia telah menaikkan batas usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita melalui UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Namun, tradisi seperti kawin culik dan nikah siri (pernikahan tidak tercatat secara resmi) masih menjadi tantangan besar. Di Lombok, tokoh adat seperti Muhamad Rais sejak 2016 berupaya memperbaiki praktik merariq dengan memperketat aturan, seperti menetapkan batas usia minimal dan mempraktikkan tradisi “belas” (memisahkan pasangan jika tidak cocok). Meski demikian, kasus ini menunjukkan bahwa perubahan pola pikir masyarakat masih diperlukan.
8. Respons Pemerintah dan Masyarakat
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3AP2KB) Lombok Tengah, Mulardi Yunus, menyayangkan pernikahan ini dan menyerahkan penanganan ke pemerintah daerah. Pihaknya berencana mengadakan pertemuan dengan tokoh adat dan perangkat desa untuk mencegah kasus serupa. Aktivis lokal seperti Baiq Zulhatina juga mengkampanyekan pencegahan pernikahan anak, menegaskan bahwa menghentikan pernikahan dini bukanlah aib, melainkan langkah untuk melindungi anak.
9. Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor pendorong pernikahan dini di Lombok meliputi kemiskinan, kurangnya pengawasan orang tua, dan tekanan budaya. Dalam kasus ini, perceraian orang tua dan kondisi ekonomi yang sulit juga memengaruhi keputusan pernikahan. Data dari Dinas Kesehatan Lombok Timur (2019) mencatat 289 ibu melahirkan berusia di bawah 20 tahun, menunjukkan tingginya angka pernikahan anak di wilayah ini. Pandemi Covid-19 juga disebut memperburuk situasi karena berkurangnya pengawasan selama pembelajaran jarak jauh.