TERASJABAR.ID – Efek Mandela merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika sekelompok orang memiliki ingatan yang sama, tetapi ingatan tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Meski keliru, memori itu terasa sangat nyata dan meyakinkan bagi orang-orang yang mengalaminya.
Fenomena ini semakin sering dibicarakan sejak hadirnya media sosial, karena banyak orang menyadari bahwa ingatan “salah” yang mereka miliki juga dirasakan oleh orang lain.
Istilah Efek Mandela pertama kali diperkenalkan oleh Fiona Broome pada tahun 2009.
Ia menemukan bahwa dirinya dan banyak orang lain percaya Nelson Mandela meninggal dunia di penjara pada era 1980-an.
Kenyataannya, Mandela dibebaskan, terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994–1999, dan baru wafat pada 2013.
Sejak saat itu, istilah ini digunakan untuk menjelaskan berbagai kesalahan ingatan kolektif, mulai dari logo, lirik lagu, hingga dialog film.
Para pakar menjelaskan bahwa Efek Mandela dapat dipicu oleh beberapa faktor.
Salah satunya adalah keterbatasan daya ingat manusia yang mudah berubah akibat informasi baru, sugesti, atau imajinasi.
Faktor lain adalah pengaruh sosial, ketika keyakinan bersama dalam sebuah kelompok membuat informasi keliru dianggap benar.
Selain itu, kemudahan akses internet turut mempercepat penyebaran informasi yang belum tentu akurat, sehingga memperkuat ingatan yang salah.
Contoh Efek Mandela cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti kesalahan mengingat lirik lagu anak “Balonku” atau lagu “Hari Merdeka”, serta kekeliruan dalam mengingat detail geografis.
Fenomena ini bukanlah gangguan mental, melainkan hal wajar yang bisa dialami siapa saja.
Meski begitu, memahaminya penting agar kita lebih kritis, rajin memeriksa fakta, dan tidak mudah menyebarkan informasi keliru atau hoaks.-***










