Setelah kenyang saya bergerak lagi. Melewati pertigaan bandara: Yogyakarta International Airport (YIA) dan ibukota Kabupaten Kulon Progo : Wates.
Waktu menunjukkan pukul 14.30, saya melewati Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, dan Masjid Agung. Di halaman masjid saya lihat ada replika kabah tempat latihan manasik haji/umroh.
Di perempatan lampu merah yang ada patung kuda saya disapa perempuan bermotor. Dia membaca tulisan di belakang sepeda. “Saya ti Cimahi oge, ti Baros,” katanya.
Melewati Wates kontur jalan mulai terasa ada tanjakan. Saya terus mengayuh sepeda karena tidak mau kemalaman di jalan. Lampu sepeda sedang bermasalah. Saat Asar baru saya berhenti di Masjid di daerah Sentolo.
Seorang pria paruh baya kemudian mendekati saya ngajak ngobrol. “Abdi ti Ciamis. Akang kana sapedah, abdi mapah,” katanya. Rupanya dia peturing berjalan kaki yang sedang menuju pulang ke Ciamis sehabis ziarah di Madura. Saya antara yakin dan tidak yakin mendengar ceritanya.
Enggan terlibat pembicaraan lebih lanjut saya terus memakai kaus kaki dan sarung tangan. “Tipayun pak, saya takut kemalaman. Sepeda tidak ada lampu,” kata saya berpamitan sambil memberi alasan.
Ajaibnya si bapak itu merogoh ranselnya lalu mengeluarkan sesuatu. “Ini ada lampu. Tadi saya nemu di jalan. Sok anggo we,” katanya.
Sejurus saya terdiam. Ini kebetulan yang amat sangat langka. Saya tidak punya lampu sepeda, si bapak peturing jalan kaki ini malah memberi saya lampu sepeda. Sejurus kemudian saya ambil lampu dari tangannya, hatur nuhun. Lantas ambil sepeda, dan kembali mengayuh.
Dari Sentolo sampai masuk Jogja kota, saya mengayuh tidak berhenti-berhenti. Tidak juga noleh ke belakang. Benak saya dipenuhi berbagai analisa mengenai peristiwa yang baru saja terjadi.
Masuk daerah Sedayu, sudah di Kabupaten Bantul, suasana sudah makin ramai. Saya sudah fokus untuk menuju rumah Mas Kelik di daerah Gamping, Sleman.
Mas Kelik adalah keluarga dari istri saya. Cucu dari kakaknya bapak mertua saya. Jadi menurut urutan silsilah, Mas Kelik adalah keponakan istri saya. Tapi karena usianya di atas saya dan istri, kami memanggilnya Mas Kelik.