Di depan pendopo ada lapangan Puputan Klungkung. Sore itu terlihat ramai sekali orang berolah raga. Kemudian kami bergeser beberapa meter ke arah kiri. Ada Monumen Puputan Klungkung dan objek wisata Kertha Gosa. Objek wisata Kertha Gosa ini adalah bekas pengadilan di zaman kerajaan dulu.
Saya lalu diantar ke Masjid Agung karena belum shalat Asar. Persis di sebelah masjid ada warung. Pemiliknya adalah Gusti Alit, federalist anggota Fedkung. Jadi sewaktu saya shalat, teman-teman dari Denpasar nongkrong di warung Gusti Alit.
Menariknya, karena warungnya berada persis di sebelah masjid, Gusti Alit sering membantu marbot. Minimal membukakan dan menutup pintu. “Waktu pembangunan masjid ini, kami juga ikut kerja bakti,” tambah Ketut Mahar yang dulu pernah tinggal dekat situ.
Menurut Ketut Mahar di Klungkung ini bahkan ada desa komunitas muslim tertua di Bali. Yaitu di Desa Kampung Gelgel. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke situ.
Maka sebekum menuju pelabuhan Padang Bai, Ketut Mahar ditemani Gus Aji mengantar saya ke Desa Gelgel. Sementara Pak Nyoman Dama, Pak Ketut Parma dan Pak Ketut Wiratma kembali ke Denpasar.
Alhamdulillah saya berkesempatan shalat Maghrib di Masjid Nurul Huda. Konon katanya ini masjid tertua di Bali. Dibangun oleh orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Bali bekerja sebagai pelayan kerajaan.
Dari Masjid Nurul Huda saya bersama Gus Aji ke rumahnya yang letaknya sudah makin dekat ke Pelabuhan Padangbai.
Kemudian dari rumah Gus Aji ke pelabuhan saya dikawal Ketut Mahar dan Made Gol. Hari sudah makin malam.
Melihat saya kepayahan setiap nanjak, Made Gol lalu mendorong saya perlahan. Alhasil saya bisa tiba di pelabuhan tanpa berkeringat.
Sekitar jam 22.00 saya membeli tiket untuk pemberangkatan jam 00.00. Dengan demikian sekitar Subuh saya akan tiba di Pelabuhan Lembar, Lombok. Besok saya sudah gowes di pulau berbeda di provinsi berbeda.
Padangbai, 21 Mei 2025