Beberapa kilometer mengayuh, ketemu gapura perbatasan antara Kabupaten Sumbawa dengan Kabupaten Dompu.
Di depan SD Negeri Manggalewa saya berhenti di warung yang berjualan gado-gado. Alhamdulillah saya akhirnya mengkonsumsi makanan yang banyak sayurnya.
Si ibu pedagang sambil mengulek bumbu gado-gadonya terus ngajak saya ngobrol. Sementara saya lebih tertarik memperhatikan ibu sepuh di belakangnya yang sedang menumbuk kacang dengan alu panjang.
Perut sudah terisi, saya lebih percaya diri untuk melewati tanjakan Nanga Tumpu. Dari cerita yang saya dengar, ruas jalan ini merupakan segmen paling berat antara Sumbawa ke Bima. Bahkan ada juga yang bilang ini tanjakan tertinggi di Pulau Sumbawa.
Masuk Desa Nanga Tumpu pas Zhuhur. Saya mampir dulu ke Masjid Nurul Ihsan. Masjidnya kebetulan sedang renovasi. Jadi saya bisa titipkan sejumlah uang kiriman teman saya Veteran Gedung Sate. Dia tidak mau namanya disebutkan. (Inisial panggilannya : A)
Walau matahari sedang tinggi, selesai shalat saya langsung bergerak lagi. Saya tidak ingin membuang waktu, karena khawatir kelamaan saat nanjak.
Melewati Rumah Makan Putri Nanga Tumpu kontur jalan mulai menanjak. Rumah makan ini rupanya tempat istirahat bis yang melintasi trayek ini. Tak ayal saya menjadi perhatian penumpang yang beristirahat di bawah pohon.
Mungkin karena sudah siap mental, saya bisa terus mengayuh mendaki Nanga Tumpu. Walaupun gradiennya (kemiringan) cukup tajam. Mirip Ciloto – Puncak, atau tanjakan Cikole – Tangkuban Perahu. Tapi yang ini jauh lebih panjang.
Saya terus merayap. Pelan tapi berjalan. Di satu tanjakan akhirnya saya berhenti. Karena melihat ada seorang pria duduk di bawah truk tanki yang sedang mogok. Saya ulurkan roti dan donat bekal saya. Dia langsung menyambut gembira.