Hendry mengisahkan pengalamannya ketika bergabung dengan PWI pada tahun 1985. Saat itu, ia harus melalui tahapan ketat mulai dari menjadi calon anggota, lalu anggota muda, hingga akhirnya lulus sebagai anggota biasa setelah tiga tahun.
“Sekarang, prosesnya lebih ringkas. Siapa pun yang telah memiliki sertifikasi dan lulus OKK, bisa langsung bergabung sebagai anggota resmi,” jelasnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa substansi pendidikannya tetap mengedepankan etika, kompetensi, dan komitmen pada bangsa.
Lebih lanjut, Hendry mengulas sejarah panjang PWI. Ia mengingatkan bahwa organisasi ini lahir pada masa krusial, yakni 9 Februari 1946 di Solo. Saat itu, Indonesia masih berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
“Solo menjadi satu-satunya daerah yang memungkinkan pelaksanaan Kongres, karena status wilayahnya masih diakui Belanda. Maka, di sanalah PWI berdiri,” terangnya.
Kongres pertama PWI diikuti oleh 120 tokoh pers nasional. Mereka terdiri dari wartawan, pejuang, dan pemikir bangsa yang sadar bahwa media memiliki peran vital dalam menjaga kemerdekaan. Bung Tomo dan Amir Sjarifuddin turut hadir dan menyampaikan pidato penting dalam pembukaan kongres.
“Sejak awal, PWI berdiri sebagai organisasi yang berpihak kepada bangsa, bukan hanya kepada profesi. Keputusan pertama Kongres menegaskan bahwa wartawan harus menjaga kedaulatan negara,” ujar Hendry.