Manusia diciptakan bukan sebagai homo digitalis, tapi sebagai khalifah fil ardh, pemimpin di bumi. Pemimpin yang berpikir, merasa, dan menimbang dengan hati nurani. Maka, menjadi manusia di era digital berarti tetap menjaga jarak dari candu data, tetap berpijak di dunia nyata, dan tetap meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, kita juga tak bisa menolak kemajuan. Teknologi bukan musuh, tapi ujian. Tantangannya bukan untuk melawan gawai, melainkan menjaga ruh kemanusiaan di dalamnya. Agar kita tidak kehilangan diri di balik layar, dan agar algoritma tidak menggantikan hati nurani.
Zygmunt Bauman pernah menyebut zaman ini sebagai liquid modernity, semua hal cair, cepat, dan berubah. Maka tugas kita adalah menemukan pijakan. Membangun kedalaman di tengah derasnya arus, dan menemukan makna di tengah kebisingan notifikasi.
Karena pada akhirnya, menjadi manusia di era digital bukan soal seberapa cepat kita mengikuti tren, tetapi seberapa dalam kita memahami arah.
Teknologi seharusnya memperluas kemanusiaan, bukan menghapusnya.
Dan mungkin, tugas terbesar generasi ini adalah belajar kembali menjadi manusia yang benar-benar hadir, yang sunguh-sungguh merasa, yang tetap punya hati di tengah riuhnya dunia digital.
Subchan Daragana
Pemerhati komunikasi dan sosial, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie.















