Kepemimpinan sejatinya adalah proses membangun makna bersama (shared meaning). Pemimpin bukan hanya memberi perintah, tetapi menciptakan rasa aman, kepercayaan, dan arah. Komunikasi yang sehat lahir dari kesadaran diri (self-awareness) dan pengendalian diri (self-regulation). Tanpa itu, komunikasi berubah menjadi instruksi kering, bahkan dominasi.
Sosiologi melihat fenomena OTT bukan semata kesalahan individu, tetapi juga gejala budaya kekuasaan yang kehilangan kendali moral. Kekuasaan yang tidak dibingkai oleh etika dan pengawasan diri mudah berubah menjadi ruang kompromi.
Imam Al-Ghazali menyebut cinta berlebihan pada dunia dan jabatan sebagai akar rusaknya kepemimpinan. Dari sanalah lahir ketakutan kehilangan posisi, alergi terhadap kritik, dan keberanian menghalalkan cara. Padahal, pemimpin yang sehat justru berani mendengar nasihat dan kritik. Ia sadar bahwa jabatan bukan miliknya, melainkan titipan. Ketika rasa takut kepada Allah lebih besar daripada takut kehilangan kekuasaan, maka keadilan menemukan jalannya. Sebaliknya, ketika rasa takut itu hilang, hukum dan aturan mudah dinegosiasikan.
OTT KPK seharusnya tidak hanya dibaca sebagai keberhasilan penegakan hukum, tetapi juga sebagai alarm sosial. Ada yang salah dalam cara kita memahami dan menyiapkan kepemimpinan. Kita terlalu sibuk mencari figur yang pandai bicara, tetapi lupa menakar kemampuan mereka memimpin diri sendiri.
Memimpin orang lain tanpa mampu memimpin diri sendiri memang ilusi. Kepemimpinan sejati tidak dimulai dari kursi jabatan, tetapi dari hati yang jujur, rumah yang tertata, dan diri yang terkendali. Dari sanalah lahir pemimpin yang bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga layak secara moral.
Dan mungkin, perubahan besar bangsa ini tidak selalu dimulai dari podium kekuasaan, tetapi dari ruang kecil dari hati yang takut kepada Allah, dari rumah yang dipimpin dengan cinta dan tanggung jawab, dan dari manusia yang lebih sibuk memperbaiki dirinya daripada mengatur orang lain.***











