Faktor digital memperparah luka. Di dunia maya, kata-kata bisa jadi peluru. Algoritma media sosial memperkuat konten ekstrem dan mempertemukan anak-anak dalam ruang yang sering kali lebih kejam dari dunia nyata. Tanpa literasi digital yang kuat, mereka mudah hanyut dalam tren mengejek, menghina, atau mengolok demi eksistensi. Seorang anak bisa hancur karena satu video yang viral.
Lalu di mana peran negara? Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah kebijakan, seperti Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan, serta kerja sama Kemenkominfo dengan platform digital untuk memblokir konten perundungan. Namun, implementasinya masih lemah. Bandingkan dengan Korea Selatan atau Finlandia, yang memiliki sistem school well-being officer—petugas khusus di sekolah yang menangani kesehatan mental dan relasi sosial siswa.
Agama, ilmu, dan pendidikan sejatinya mengajarkan hal yang sama: menghormati sesama adalah fondasi kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; tidak menzhalimi dan tidak merendahkannya.” Jika pesan ini hidup dalam keluarga dan sekolah, tidak akan ada ruang bagi anak untuk merasa lebih unggul dengan cara menyakiti.
Bullying bukan sekadar masalah perilaku, tetapi krisis nilai kemanusiaan. Anak-anak kita tidak hanya butuh pelajaran matematika dan sains, tapi juga pelajaran tentang kasih sayang, empati, dan cara mengelola perbedaan. Orang tua perlu lebih hadir, guru perlu lebih peka, dan negara perlu lebih tegas.
Tragedi di SMA 72 Jakarta seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Di balik ledakan itu ada jiwa yang terluka, dan mungkin ada banyak jiwa lain yang sedang menunggu untuk disembuhkan.
“Anak-anak tidak membutuhkan dunia yang sempurna. Mereka hanya butuh orang dewasa yang hadir dengan hati.” (Subchan Daragana)

















