Retakan yang Menetes ke Daerah
Kini, dampak konflik di tingkat provinsi sudah menetes ke kabupaten/kota. Dunia usaha di bawah ikut kebingungan:
Ada yang merasa sah karena dilantik Almer.
Ada yang merasa sah tapi dibekukan Kang Agung.
Ada pula yang bertanya-tanya: “Kalau begini, kami ini anak siapa? Pakai akta kelahiran versi mana?”
UMKM, koperasi, dan investor daerah pun ikut resah. Yang seharusnya mendapat kepastian dari Kadin, justru jadi korban tarik-menarik kepengurusan. Jika dibiarkan, Kadin Kab/Kota akan berubah menjadi Kadin Kaput: pecah, terbelah, dan tak berdaya.
Energi, Pikiran, dan Uang yang Terkuras
Mari jujur: keributan ini mahal biayanya.
Energi pengurus habis untuk rapat kubu, bukan rapat bisnis.
Pikiran habis untuk strategi menjegal, bukan strategi menjual.
Uang habis untuk lobi-lobi, bukan modal kerja.
Ibarat petani sibuk berkelahi berebut cangkul, sementara sawahnya dibiarkan kering. Pada akhirnya, padi gagal panen, yang tumbuh hanyalah rumput konflik.
Sufistis Sejenak
Padahal hidup ini singkat. Kalau dunia hanya persinggahan, mengapa kita sibuk berebut kursi? Kursi itu hanya kayu berlapis busa. Tidak bisa dibawa mati. Yang bisa kita tinggalkan hanyalah amal dan jejak pengabdian.
Apalah arti kursi kalau pada akhirnya dunia usaha terbengkalai? Jangan sampai sejarah menulis bahwa Kadin Jabar lebih sibuk berebut jabatan daripada menumbuhkan perdagangan dan industri.
Seandainya Konsolidasi Dipilih
Seandainya saran Januari lalu dijalankan, mungkin hari ini Kadin Jabar sudah solid. Tidak ada pecah belah, tidak ada kabupaten/kota bingung, dan program kerja sudah berjalan.
Konsolidasi adalah jalan pulang. Dialog terbuka, kepengurusan inklusif, dan semangat merangkul semua pihak akan jauh lebih memberi manfaat daripada Musprov yang justru memprovokasi.
Jauhi Piributeun, Dekati Piduiteun
Inilah inti persoalan. Ribut tidak menambah omzet, tidak mendatangkan investor, tidak membuat UMKM naik kelas. Justru sebaliknya: ribut mengusir peluang, menguras tenaga, dan menghilangkan marwah organisasi.
Karena itu, pesan ini harus jadi mantra bersama:
“Jauhi piributeun, dekati piduiteun.”
Pengusaha seharusnya fokus ke peluang usaha, bukan sibuk mencari lawan. Kalau energi dihabiskan untuk konflik, yang datang bukan rezeki, melainkan ironi.