Arah penataan ruang dalam perda diantaranya untuk melindungi kawasan hutan, areal pesawahan, rawa-rawa, daerah sumber air, dan daerah aliran sungai.
Jika nanti sudah terbentuk perda di Kabupaten/kota maka tidak lagi diperlukan peraturan gubernur atau surat edaran terkait alih fungsi lahan.
“Kalau hari ini memang kondisinya adalah kondisinya darurat. Aturannya dibolehkan (alih fungsi lahan), tapi bisa menimbulkan bencana. Ya, kita pilih mana? Pilih taat pada aturan atau pilih menangani bencana. Ya, saya sih pilih menangani bencana,” tegasnya.
Gubernur menambahkan Kementerian ATR/BPN tengah mempercepat seluruh proses sertifikasi seluruh aset-aset negara, baik yang dikelola oleh BUMN maupun kementerian serta pemda.
“Hari ini sudah bersepakat antara Kanwil ATR/ BPN Provinsi Jawa Barat dengan Perhutani dan PTPN untuk segera melakukan penanganan terhadap aset-aset negara di Provinsi Jawa Barat agar segera tersertifikatkan, sehingga tidak terjadi sengketa di lapangan,” tuturnya.
“Hal berikutnya juga kita mendorong dengan Kementerian PU untuk segera menetapkan sempadan sungai di seluruh provinsi Jawa Barat. Dengan begitu, kalau nanti sempadan sungai sudah ditetapkan oleh Menteri PU, maka sertifikat yang muncul itu dapat dicabut oleh Menteri ATR/BPN,” tuturnya.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Kehutanan Ade Tri Ajikusumah menyebutkan kawasan hutan di Jawa Barat kini tersisa seluas 760 ribu hektare dan terus menyusut.
Luasan itu mencapai 22,54 persen dari luas daratan. Padahal keseimbangan alam sebuah wilayah terjadi jika 30 persen luasannya mampu menahan air atau merupakan kawasan hutan.
“Sekarang kami di Kementerian tidak akan lagi mengeluarkan ijin lokasi dan ijin lingkungan jika tidak ada ijin dari instansi atau gubernur Jabar,” tegasnya.***
















