Media sosial telah mengganti banyak hal: ruang dialog, ruang ibadah, bahkan ruang keteladanan. Seorang istri yang hatinya resah kini bisa lebih cepat menemukan “teman bicara” di dunia maya ketimbang di rumah sendiri. Sementara suami yang kehilangan makna kepemimpinan, menenangkan diri lewat hiburan digital.
Kita menyaksikan pergeseran besar dalam otoritas nilai. Jika dulu suami adalah imam dalam arti spiritual, kini banyak istri yang justru menjadi pusat nilai dan arah kehidupan keluarga. Bukan karena ingin mengambil alih, tapi karena kekosongan itu ada.
Ketika Peran Pudar dan Komunikasi Retak:
Allah berfirman:
«“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)»
Ayat ini bukan legitimasi kekuasaan laki-laki, melainkan amanah kepemimpinan yang harus dijalankan dengan kasih. Suami adalah qawwam, pemelihara dan penjaga, bukan penguasa. Ia ditugaskan bukan hanya memberi nafkah, tetapi juga arah dan ketenangan bagi rumahnya.
Namun, hari ini banyak suami kehilangan fungsi qawwam. Ia bekerja keras, tapi kehilangan visi spiritual. Ia lelah mencari nafkah, tapi lupa menafkahi jiwa keluarganya dengan doa, perhatian, dan kehadiran.
Sementara banyak istri, meski hatinya lembut, akhirnya menjadi kuat bukan karena ingin berkuasa, tapi karena harus bertahan. Ia menjadi ibu sekaligus ayah, menjadi pendidik sekaligus pengingat iman. Tapi di balik keteguhan itu, ada kerinduan besar—kerinduan akan seorang pemimpin rumah yang bijak dan berjiwa lembut.
Keluarga di Era Media Sosial :
Fenomena “keluarga digital” kini menjadi realitas. Pasangan suami-istri sering kali tidak lagi berada dalam “ruang nilai yang sama.” Suami mengikuti tokoh motivasi di media sosial, istri mengikuti ustaz lain. Masing-masing merasa paling benar, karena referensinya berbeda. Bahkan urusan rumah tangga pun diukur dengan potongan nasihat dari konten singkat yang belum tentu utuh secara syariat.
Sosiolog Islam menyebut ini sebagai krisis otoritas spiritual di rumah tangga. Di tengah derasnya arus informasi, rumah kehilangan satu hal: arah.
Rasulullah ﷺ telah memberi contoh indah dalam komunikasi rumah tangga. Beliau memanggil istrinya dengan panggilan lembut, mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan menenangkan hatinya dengan tatapan kasih. Dalam riwayat Aisyah r.a., beliau biasa minum dari tempat yang sama agar istrinya merasa dihargai. Ini bukan sekadar romantisme, tapi pelajaran mendalam tentang komunikasi hati—bahwa kasih sayang adalah ibadah.
Menata Kembali Rumah dengan Iman:
Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin:
«“Rumah tangga adalah ladang akhirat. Jika suami dan istri bersatu karena Allah, maka setiap senyum dan kata menjadi zikir.”»















