Begitu juga Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menegaskan bahwa rumah adalah “kerajaan kecil,” dan bila raja (suami) dan ratunya (istri) adil, maka seluruh penghuninya hidup dalam ketenangan.
Artinya, rumah yang kokoh bukan dibangun oleh kemewahan, tapi oleh ibadah bersama. Shalat berjamaah, doa setelah makan, zikir sebelum tidur — hal-hal sederhana itu yang menumbuhkan sakinah.
Kita perlu mengembalikan rumah menjadi tempat belajar bersama, bukan tempat saling menilai. Mulailah dengan hal kecil: berbincang tanpa gawai, mendengarkan pasangan tanpa menghakimi, dan membangun kembali rasa hormat di antara suami dan istri.
Akhirnya, Rumah yang Kembali Hangat :
Rasulullah ﷺ bersabda:
«“Apabila seorang suami memandang istrinya dengan kasih sayang, dan istrinya memandang suaminya dengan kasih sayang, maka Allah memandang keduanya dengan rahmat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)»
Rumah yang penuh rahmat bukan rumah tanpa masalah, tapi rumah yang selalu kembali kepada Allah di setiap masalahnya. Rumah yang tak malu menangis bersama, berdoa bersama, dan saling meminta maaf ketika hati retak.
Jawa Barat mungkin hari ini mencatat angka perceraian tertinggi. Tapi bisa jadi, dari tanah inilah pula muncul gerakan untuk mengembalikan makna rumah dalam Islam: tempat sakinah, taman cinta yang dibangun dengan komunikasi iman.
Sebab surga pertama itu bukan di langit, tapi di rumah — ketika suami menjadi imam, istri menjadi cahaya, dan keduanya berjalan seiring menuju ridha Allah. ***















