Di titik inilah seorang ayah biasanya mulai bertanya, “Sisa usia ini mau saya pakai untuk apa?”
Apa yang sudah saya siapkan untuk keluarga ketika saya tiada?
Apa warisan yang saya tinggalkan selain harta?
Apa amal yang tetap mengalir ketika tubuh saya sudah diam di tanah?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan tanda melemah, tetapi tanda matang. Tanda rendah hati. Tanda bahwa manusia sedang mendengar panggilan Tuhannya.
Apa yang Anak-Anak Akan Katakan saat Kita Tiada?:
Ketika seorang ayah wafat, anak bukan hanya kehilangan pelindung. Mereka kehilangan teladan. Mereka kehilangan kompas moral. Mereka kehilangan sumber kehangatan, arah, dan keberanian.
Yang paling membekas bukanlah:
seberapa besar gaji ayah,
berapa banyak asetnya,
atau seberapa megah pangkatnya.
Yang paling melekat justru hal-hal sederhana:
bagaimana ayah memperlakukan ibunya,
bagaimana ayah bicara,
bagaimana ayah berdoa,
bagaimana ayah menghadapi masalah,
bagaimana ayah memberi keteladanan adab.
Karena pada akhirnya:
Ayah tidak pernah benar-benar pergi, ia hidup dalam karakter anak-anaknya.
Itulah legacy yang tidak bisa dibeli dengan dunia.
Sudahkah Kita Mengajarkan Ilmu Menghadapi Kematian Kita Sendiri?:
Ini bagian yang paling sering dilupakan para ayah.
Kita mengajarkan anak belajar berjalan, makan, sekolah, dan bekerja. Tapi berapa banyak ayah yang mengajarkan ilmu menghadapi kematian?
Bagaimana memandikan jenazah ayahnya
Bagaimana menshalatkan
Bagaimana mengurus utang
Bagaimana memastikan amanah
Bagaimana mendoakan
Bagaimana bersabar dan bertawakal dalam kehilangan
Bukankah itu akan menjadi amal jariyah terbesar ketika anak kita melakukannya dengan tangan mereka sendiri?


















