Kekuatan moral tidak diukur dari kemampuan mempertahankan hak, tetapi dari kesediaan mengalah demi kebaikan yang lebih besar.
Mengalah bukan berarti kalah. Mengalah adalah bentuk kepemimpinan diri. Dalam tradisi ulama, adab selalu didahulukan sebelum ilmu, apalagi sebelum hak. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” Karena tanpa adab, ilmu dan hak bisa berubah menjadi senjata ego.
Fenomena dukungan netizen terhadap perempuan muda itu juga menunjukkan krisis empati kolektif. Kita hidup di ruang digital yang membuat penderitaan orang lain terasa jauh dan abstrak. Ibu yang berdiri di kereta bukan lagi manusia dengan lelah hidup, melainkan “tokoh” dalam video. Dalam psikologi komunikasi, ini disebut “dehumanisasi” ringan, orang lain dipersepsi sebagai objek argumen, bukan subjek perasaan.
Padahal dalam budaya kita dan terlebih dalam ajaran Islam menghormati yang lebih tua bukan soal status, tapi soal nilai kemanusiaan. Bahkan jika sang ibu bersikap emosional, itu tidak otomatis membatalkan kewajiban moral kita untuk bersikap santun. Akhlak justru diuji ketika situasi tidak ideal.
Kasus ini memberi cermin jujur bagi masyarakat kita. Bukan untuk menyalahkan satu pihak, tetapi untuk bertanya bersama, ke mana perginya kepekaan sosial kita? Mengapa empati terasa mahal, sementara pembelaan diri terasa mulia?
Mungkin kita terlalu sering mendidik generasi dengan kalimat “itu hak kamu”, tanpa menyeimbangkannya dengan “itu tanggung jawab moralmu”. Kita rajin mengajarkan keberanian bicara, tapi lupa menanamkan kebijaksanaan untuk diam dan mengalah.
Ruang publik termasuk transportasi umum bukan hanya ruang hukum, tetapi ruang akhlak sosial. Jika semuanya hanya diukur dengan hak, maka yang tersisa adalah masyarakat yang sah secara aturan, tapi miskin kepedulian.
Pada akhirnya, peradaban tidak runtuh karena kurangnya aturan, tetapi karena lunturnya adab. Dan adab selalu dimulai dari hal kecil, dari kursi di kereta, dari cara berbicara, dari kesediaan melihat orang lain bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama manusia.***












