Interaksi antara guru-murid sering berlebih. Tentu guru lebih dominan, instruksional, menggunakan suara bernada tinggi, keras. Bahkan di antara guru ada yang ringan tangan. Menyentil atau menjewer telinga murid.
+ ++
MESKIPUN guru “killer” ada di mana-mana, saat itu tidak ada yang protes. Kejadian demi kejadian tidak sampai ke telinga orangtua di rumah, dan tidak menyebar kemana-mana.
Namun di zaman media sosial, zaman serba internet, era 4.0, kejadian di ruang kelas cepat menyebar luas. Batas dinding kelas seperti tidak ada.
Informasi menjadi tidak mengenal batas. Konflik guru-murid menyebar ke seluruh negeri secepat kilat. Pendapat pro-kontra antara dukungan terhadap murid dan guru menjadi beradu serius di perdebatan maya.
Akan menjadi lebih ramai ketika konflik guru-murid disusul dengan aksi heboh, seperti demonstrasi dan mogok bersekolah.
Terakhir reaksi heboh dilakukan sekitar 630 pelajar SMAN 1 Cimarga, Lebak, Provinsi Banten. Mereka mogok belajar kabarnya dipicu oleh guru yang menempeleng seorang siswa yang kedapatan merokok di sekolah tersebut.
Sang guru menerapkan aturan sekolah, yaitu larangan merokok di sekolah. Guru mendapat pujian sekaligus celaan karena diduga menempeleng.
Sementara si murid juga dicela dan dibela. Dicela karena melanggar aturan sekolah, dan dibela karena seharusnya tidak menjadi korban penempelengan oleh guru.
Namun pihak sekolah dan pejabat yang menangani pendidikan di daerah tersebut merasa lega setelah semua peserta didik kembali masuk sekolah pada Rabu (15/10/2025).
Sekarang perlawanan murid terhadap guru semakin terdengar nyaring di era 4.0. Sementara konflik guru- murid bagaikan rem kendaraan blong.
Banyak sudah kajian akademik membahasnya, tetapi tidak membuat konflik guru-murid berhenti.
Kalau terus-menerus persoalan ini tidak bisa diselesaikan, dunia pendidikan memasuki bahaya serius. Sekolah akan sulit mendapatkan kepercayaan publik.
Padahal guru telah lama dipercaya sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing yang melindungi murid.
Guru adalah sosok yang dihormati, guru bukan sosok yang ditakuti, guru tidak bertindak diskriminatif terhadap murid.
Diskriminasi pendidikan yang kecam dan dipersalahkan oleh sejarah, seperti era penjajahan sebelum pelaksanaan politik etis, sudah berakhir.
Pada zaman kolonial Belanda, yang boleh bersekolah hanya kalangan elite, warga kulit putih asal Eropa.
Sekarang pendidikan adalah hak semua orang, hak segala bangsa. Homogenitas peserta didik, menuntut guru mengerti dan berhati-hati dalam menggunakan kata-kata dan bahasa tubuh.
Kata-kata yang mengandung ejekan, bullying, dan bahasa tubuh yang mengancam, apalagi benar-benar memukul, bisa menjadi sumber konflik.
Dalam diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) yang berlangsung Jumat (17/10/2025) di Jakarta Pusat, bertema pendidikan, menyoroti memburuknya konflik guru-murid.

















