Ada paradoks besar di balik semua ini.
Kita makin terhubung secara teknologi, tapi makin terputus secara batin. Kita bisa melihat seribu wajah setiap hari, tapi jarang menatap wajah sendiri dengan jujur.
Di sinilah muncul yang disebut “delusi koneksi” perasaan dekat tanpa kedalaman, seperti yang diperingatkan Sherry Turkle dalam Alone Together (2011).
Teknologi menjanjikan keintiman, tapi sering kali yang kita dapat hanyalah kesepian yang terbungkus notifikasi. Dan di titik ini, media sosial berhenti menjadi alat, lalu berubah menjadi cermin yang memecahkan nurani.
Kita mulai hidup bukan untuk menjadi baik, tapi untuk terlihat baik.
Kita menolong bukan karena peduli, tapi karena kamera sedang merekam.
Dari sisi spiritual, Islam memandang hati sebagai pusat niat dan kesadaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika niat sudah bergeser dari mencari ridha Allah menjadi mencari validasi manusia maka amal besar pun bisa kehilangan makna.
Inilah yang oleh para ulama disebut riya’ digital: amal baik yang berubah menjadi konten. Mungkin tampak indah, tapi di mata Allah, ia bisa hampa.
Namun, jangan buru-buru menyalahkan media sosial. Sebab ia hanyalah cermin dari kondisi hati umat manusia. Jika hati jernih, media sosial bisa menjadi sarana dakwah, silaturahmi, dan inspirasi.
Jika hati keruh, media sosial bisa menjadi panggung riya, pamer, dan adiksi pengakuan.
Maka tugas kita bukan memecahkan cermin, tapi belajar menatapnya dengan bijak.
Kita perlu membangun kesadaran digital spiritual kesadaran bahwa setiap posting adalah pesan, dan setiap pesan adalah pertanggungjawaban.
Gunakan jari untuk menebar kebaikan, bukan kebencian.
Gunakan kamera untuk merekam makna, bukan keindahan palsu
Gunakan waktu di layar untuk refleksi, bukan validasi.



















