Apa yang Publik Inginkan :
Sebetulnya kebutuhan publik sederhana. Mereka ingin pemerintah berbicara dengan bahasa sehari-hari. Mereka ingin dijawab dengan cepat, dihargai saat mengkritik, dan disapa dengan empati.
Bayangkan seorang warga melaporkan jalan rusak melalui komentar Instagram. Jika diabaikan, kepercayaan publik runtuh. Tapi jika dijawab singkat dan ramah—“Terima kasih laporannya, tim kami akan cek lokasi”—rasa percaya langsung tumbuh. Respons sederhana bisa menjadi jembatan panjang.
Di sinilah letak pentingnya empati. Komunikasi publik tidak berhenti pada penyampaian informasi, tetapi juga harus menghadirkan rasa: rasa didengar, rasa dihargai, rasa dianggap penting.
Arah Baru Komunikasi Publik :
Komunikasi publik butuh strategi baru. Konferensi pers atau unggahan siaran pers di laman resmi saja tidak cukup. Harus ada pendekatan tiga lapis:
- Media center → tempat data transparan tersedia dalam bentuk fact sheet, infografis, hingga dokumen resmi.
- Media massa → penguat isu publik agar mendapat framing yang relevan.
- Media sosial → ruang dialog dua arah, tempat pemerintah hadir untuk mendengar, merespons, dan membangun kepercayaan.Ketiganya harus saling terhubung, tidak bisa berjalan sendiri. Komunikasi publik yang sehat ibarat orkestra—suara harmonis, bukan solo yang nyaring tapi hampa.
Belajar dari Praktik Nyata:
Kita bisa melihat perbedaan nyata di lapangan. Ada instansi yang hanya memajang kegiatan pejabat di media sosial. Komentar publik tidak pernah direspons. Hasilnya, kanal itu hanya jadi etalase yang sepi makna.
Sebaliknya, beberapa pemerintah daerah justru aktif menjawab pertanyaan warganya. Saat banjir, mereka memberi informasi jalur aman secara real-time. Saat ada keluhan, mereka merespons dengan ramah. Dari sini terlihat bahwa bukan platform yang menentukan keberhasilan komunikasi, melainkan cara memperlakukan publik di dalamnya.