Tujuannya, supaya aktivitas pembangunan infrastruktur tidak menimbulkan kecemburuan sosial, antara warga di wilayah yang berbeda.
“Tentu berdampak sosial tinggi, karena bisa jadi di wilayah lain betul-betul membutuhkan normalisasi drainase tapi tidak mendapatkannya,” papar Dicky.
“Sedangkan wilayah yang tidak urgent atau tidak terlalu genting, misal gak ada banjir tapi drainasenya dinormalisasi. Pengkajian dan perencanaan sangat penting,” lanjutnya.
Menurut Dicky, mangkraknya proyek normalisasi drainase di Rancaekekwetan, dianggap sebagai pembiaran tanpa ada keseriusan penyelesaian oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Bandung.
“Pembiaran ini selalu saja diulang di Kabupaten Bandung, minimnya pengawasan di seluruh stakeholder, termasuk aparat penegak hukum yang selalu bersandar di bawah bahasa kondusivitas, padahal itu adalah kesalahan yang sangat fatal,” imbuhnya.***
Editor: van