Di tengah lingkungan semacam ini, manusia rentan kehilangan kapasitas paling penting dalam dirinya, refleksi, kesabaran, dan keheningan. Kita terbiasa dengan kecepatan yang membuat otak terus menagih dopamin setiap beberapa detik. Layar menjadi “lingkungan alami” baru, sementara dunia nyata berubah menjadi sesuatu yang sekunder, lambat, dan membosankan.
Neil Postman dalam bukunya “Amusing Ourselves to Death”, mengingatkan bahwa ketika sebuah peradaban mengubah seluruh aktivitasnya dari berpikir menjadi hiburan, maka peradaban itu sedang membangun jurang kehancurannya sendiri. Hari ini kita melihat peringatan itu menjadi kenyataan, politik berubah menjadi tontonan, pendidikan berubah menjadi konten singkat, agama berubah menjadi kutipan motivasi, dan moral berubah menjadi tren algoritmik.
Ketika Nilai Hidup Ditentukan oleh Trending
Media sosial menciptakan budaya baru yang diatur oleh algoritma, apa yang populer dianggap penting, apa yang viral dianggap benar, apa yang disukai dianggap layak diikuti. Inilah yang disebut para ahli sebagai ekologi nilai hidup yang tidak lagi ditentukan oleh moral, agama, atau budaya, tetapi oleh logika keterlibatan (engagement).
Dalam lingkungan seperti ini:
yang jujur kalah oleh yang dramatis,
yang berilmu kalah oleh yang viral,
yang tulus kalah oleh yang sensasional,
yang benar kalah oleh yang ramai.
Kita tidak lagi hidup berdasarkan kompas moral, tetapi kompas algoritma. Nilai berubah dari kebenaran menjadi perhatian. Akibatnya, lahirlah budaya narsisisme, pamer kemiskinan, eksploitasi kesedihan, hingga perilaku mempertontonkan aib demi simpati.
Ekologi media sosial merombak struktur sosial, bukan lagi tokoh masyarakat yang menjadi rujukan, tetapi influencer, bukan lagi guru atau ulama yang menjadi tempat bertanya, tetapi TikTokers,bukan lagi percakapan keluarga yang membentuk pemahaman, tetapi For You Page ( FYP ) yang membentuk persepsi.

















