Saya pribadi percaya bahwa kita ini bangsa yang baik, patuh dan bahkan bangsa yang pemaaf. Buktinya saat kita berkunjung ke Singapura, mendadak kita menjadi tertib dan patuh pada aturan setempat. Artinya masalah bukan terletak di manusianya, tetapi masalah lebih pada sistem kelola masyarakat.
Di Indonesia, siapapun bila studi banding ke negara lain, dapat ditebak bahwa hampir semua mempelajari teknologi yang dipakai dalam mengolah sampah. Menurut hemat saya, nampaknya ada hal penting yang justru dilupakan, yaitu bagaimana negara tersebut melayani rakyatnya.
Dari hasil pengamatan, saya hampir tidak pernah mendengar ada pihak yang tertarik membahas aspek non teknis, misalkan aspek tatalaksana, aspek manajemen, serta aspek kelembagaan.
Bila semua hanya fokus membahas teknologi dan menafikkan aspek non teknis, rasa-rasanya wajar bila masyarakat Indonesia terkesan seperti sekarang adanya dengan atribut buruk yang melekat.
Bila mengamati SNI 19-2454-2002 Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, nampak tidak ada mekanisme kontrol langsung ke masyarakat pemukiman. Lengkap sudah, sentuhan ke masyarakat tidak menjadi penting. Alangkah bagusnya bila dikoreksi, dan sentuhan masyarakat pemukiman diutamakan.
Bapak Gubernur yang saya hormati, dengan sentuhan yang manis, saya masih optimis bahwa masyarakat Indonesia masih mau disuruh memilah sampahnya sejak dari timbulan.
Sebuah pertanyaan sederhana: “Kenapa kita tidak merancang manajemen layanan persampahan?”. Mari kita buat sebuah alur layanan, dan seterusnya masyarakat wajib mengikuti alur layanan tersebut. bila itu semua dilewati, rasa-rasanya akan membawa perubahan positip.
Bapak Ignasius Djonan saat menjadi Dirut KAI telah mencontohkan pentingnya manajemen layanan, dan sukses besar. Menuju jalan sukses tersebut, Bapak Djonan tidak pernah menggeser mindset, serta tidak pernah mendidik masyarakat, beliau cukup membuat alur layanan, dan konsisten dalam pelaksanaannya. Hasilnya adalah layanan kereta api Indonesia pantas diacungi jempol.