Barang bukti tumpukan uang tunai yang dipertontonkan Kejaksaan Agung, menunjukkan keadaan darurat korupsi. Bukan cuma nilai milyaran, tapi mencapai hingga triliunan rupiah. Mirip tumpukan kertas barang cetakan, padahal uang yang sebenarnya.
Publik sangat berharap, gerakan menumpas prilaku korupsi tak sebatas gertak awal. Tongkat komando di tangan Presiden Prabowo, hendaknya berkelanjutan. Seiring pertanyaan terhadap langkah yang jalan di tempat.
Ditengarai masih ada peran di belakang layar. Peran pengendali. Kasus yang menyeret nama dua mantan menteri era Jokowi, terkesan tak sesegera. Padahal Nadiem Makarim dan Yacut Cholil sudah disanksi “cegal tangkal” yang dapat dimaknai sebagai “tahanan” negara. Bahkan terhadap “kaisar minyak” Riza Chalid yang menyeret 18 pelaku lainnya sebagai tersangka. Jangan tanya soal nilai kerugian negara yang mencapai Rp 285 triliun. Dimungkinkan sejumlah barikade yang menguji “negara tak boleh kalah”.
Sederet mantan menaker, juga tak cukup progres ke tingkat penyidikan. Sekurangnya dua mantan menteri, Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah. Terlibat dalam kasus korupsi berupa pemerasan ijin penggunaan tenaga kerja asing.
Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jabar yang belum juga maju ke tahap penyidikan. Terlibat dalam kasus korupsi pengadaan iklan Bank BJB. Merugikan keuangan negara senilai Rp 222 milyar. Padahal mantan dirut, Yuddy Renaldi sudah terjaring tersangka sejak 13 Maret 2025. Malah dalam dua kasus, termasuk pemberian kredit macet PT Sritex senilai Rp 350 milyar.
Geliat pemberantasan korupsi yang mengesankan gercep , sekaligus cenderung “timbul tenggelam”. Muncul ke permukaan hingga rilis media, namun kemudian senyap kembali. Berkutat dalam irama buying time.
Presiden Prabowo Subianto kembali mendeklarasikan untuk memimpin pemberantasan korupsi. Satu pesan krusial dalam Pidato Kenegaraan di hadapan forum terhormat MPR, DPR dan DPD RI. Menyambut Peringatan 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung Parlemen Senayan, Jumat, 15 Agustus 2025.