Rakyat merasakan dampak nyata: harga kebutuhan pokok yang naik, pelayanan publik yang lambat, akses kesehatan dan pendidikan yang masih timpang. Pejabat, di sisi lain, sibuk berdebat soal kursi, simbol, dan narasi elektoral. Hubungan ini makin menguatkan kesan bahwa pejabat bukanlah rakyat, melainkan kelas tersendiri yang hidup dengan aturan berbeda.
Namun, apakah jurang ini tak bisa dijembatani? Tentu bisa. Komunikasi politik yang sehat harus kembali pada prinsip dasar: pejabat adalah pelayan, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Filosofi demokrasi yang dikutip Abraham Lincoln—government of the people, by the people, for the people—seharusnya menjadi pengingat. Sayangnya, di sini ia kerap dipelintir menjadi government of the elite, by the elite, for the elite.
Untuk keluar dari jebakan ini, pejabat harus berani menanggalkan jarak simbolik. Transparansi kebijakan, keberanian menghadapi kritik, serta komitmen pada komunikasi dua arah adalah kunci. Rakyat bukan sekadar objek yang dipersuasi menjelang pemilu, tetapi subjek yang harus diajak berpikir dan merasakan. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi panggung sandiwara.
Dalam filsafat komunikasi kontemporer, ada konsep listening democracy: demokrasi yang bertumpu pada kesediaan pejabat untuk mendengar dengan tulus, bukan sekadar mencatat. Jika rakyat mengeluhkan harga sembako, pejabat tidak cukup memberi janji, melainkan harus menghadirkan solusi nyata. Jika rakyat bersuara soal keadilan hukum, pejabat tak boleh sibuk dengan konferensi pers, melainkan membuktikan lewat penegakan hukum yang konsisten.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang pejabatnya pandai berbicara, melainkan bangsa yang pejabatnya rendah hati mendengar. Karena pada akhirnya, pejabat bukanlah simbol kekuasaan, melainkan perpanjangan tangan rakyat. Rakyat bukan pejabat, pejabat bukan rakyat—tetapi pejabat lahir dari rakyat, dan hanya akan bermakna jika kembali bekerja untuk rakyat.
Inilah pengingat moral yang mendesak kita ulangi: jabatan hanyalah amanah, bukan mahkota. Kekuasaan hanyalah instrumen, bukan tujuan. Tanpa kesadaran itu, republik ini akan terus digerogoti jurang yang kian melebar antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Dan jurang itu, jika tak segera dijembatani, bisa menjadi lubang sejarah yang menelan cita-cita bangsa.***