Musnah
“Cara pandang berdesa” yang dulu dibangun atas semangat gotong royong, kearifan lokal, dan partisipasi warga kini mulai pudar. Konsep pembangunan desa berkeadilan sosial digantikan oleh pola administratif yang serba laporan, target, dan seremonial.
Desa kini bukan lagi ruang hidup masyarakat yang tumbuh dari budaya lokal, melainkan sekadar titik koordinat di peta kebijakan nasional.
Prof. Yayan Sopyan, sosiolog pedesaan dari Universitas Padjadjaran, menyebut fenomena ini sebagai “krisis makna berdesa.”
Menurutnya, “desa kini sibuk mengerjakan administrasi, bukan lagi menghidupkan solidaritas sosial.” Padahal, nilai-nilai luhur desa Indonesia – seperti musyawarah mufakat, kebersamaan, dan pengelolaan sumber daya lokal – telah terbukti menjadi benteng sosial yang kuat sejak masa sebelum republik ini lahir.
Ketika haluan pembangunan desa bergeser dari rakyat ke birokrasi, maka yang hilang bukan sekadar wewenang administratif, tetapi juga jati diri dan martabat desa itu sendiri.
Dr. Budiman Sudjatmiko, inisiator gerakan Desa Maju, pernah menegaskan bahwa “desa yang kuat adalah desa yang berdaulat secara ekonomi dan sosial, bukan hanya administratif.” Sayangnya, arah kebijakan saat ini justru mengikis keberanian desa untuk berkreasi dan berdiri di atas kaki sendiri.
Daulat Desa
Kedaulatan desa bukan berarti memisahkan diri dari negara, melainkan menegaskan bahwa desa adalah subjek pembangunan, bukan objek kebijakan. Negara seharusnya hadir untuk memperkuat, bukan mengatur secara berlebihan.
Dibutuhkan cara pandang baru berdesa yang menempatkan kepala desa dan masyarakatnya sebagai mitra strategis, bukan bawahan dalam sistem birokrasi.
Prof. Bambang Purwoko, ahli tata kelola desa UGM, berpendapat bahwa “negara perlu berani menata ulang relasi kekuasaan dengan desa. Desa harus diposisikan sebagai arena demokrasi lokal yang nyata, bukan sekadar pelaksana APBN.”
Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan partisipasi dalam setiap kebijakan yang menyentuh desa. Desa harus kembali diberi ruang untuk berinovasi, menumbuhkan ekonomi lokal, serta mengelola potensi wilayahnya sesuai kearifan yang hidup di dalamnya.
Kedaulatan desa juga berarti keberanian untuk menolak kebijakan yang mengabaikan prinsip keadilan sosial. Desa harus berani menyuarakan kepentingan rakyatnya agar tidak terseret arus politik anggaran semata.













