Seperti biasa, setiap kali bertemu dengan siapa pun, saya selalu memanfaatkan menit-menit awal tuk “menyerang”.
“Dari dua podcast yang menghadirkan Bang Radjasa sebagai tamu, di luar sana, kawan-kawan saya, banyak yang bertanya siapa orang ini, ” kata saya. Radjasa terlihat diam. Saya yakin dia pasti menunggu apa yang selanjutnya akan saya katakan.
“Saya tidak bertanya siapa Sri Radjasa Chandra, tapi saya bertanya keberanian apa yang Abang miliki menilai Presiden dan mantan presiden itu, ” kata saya. Dia agak terkejut dan terlihat tenang. Saya menduga dia akan menyerang balik saya.
“Saya bicara dengan data dan fakta. Jika ada yang keberatan, silakan. Saya tunggu, ” kata Radjasa.
Drs. Sri Radjasa Chandra, MBA — dikenal sebagai mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN) dengan pangkat Kolonel Inf. (Purn).
Dia bercerita, meski lahir di Jakarta, Radjasa menikmati masa kanak-kanak dan remaja di Tangerang, Banten yang, dimana ia mengalami sosialisasi nilai “pemberontokan”. Dia mengakui Tangerang telah membentuk kepekaan sosial dirinya dalam mencermati potret ketidakadilan, ketimpangan, dan kesenjangan sosial.
Radjasa kembali ke Jakarta dan duduk di bangku kuliah dengan mengambil jurusan ilmu politik yang mengantarnya ke dunia militer dan langsung menggeluti bidang intelijen.
Dia mendapat kesempatan mengikuti kursus intelijen di beberapa negara dan kuliah program master di Universitas Queensland, Brisbane, Australia.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Australia, Radjasa langsung gabung di BAIS (Badan Intelijen Strategis) bersama Kabais LB Moerdani yang, menjadi bagian tugasnya sebagai Panglima ABRI.
“Saya lama bersama Pak LB Moerdani, ” kata Radjasa.
Sebelum gabung di “Pejaten”, markas BIN di era Jenderal Polisi Sutanto, Radjasa sempat bertugas di Kodam Iskandar Muda dan mengikuti pendidikan di Magelang.











