Oleh: Subchan Daragana — Pemerhati Sosial & Magister Komunikasi Universitas Bakrie
Kita hidup di masa ketika layar lebih terang dari cahaya pagi. Ketika notifikasi menjadi panggilan, dan unggahan menjadi ukuran nilai diri. Pemuda Indonesia, yang dulu berikrar dengan pena dan tekad, kini bersumpah dalam ruang yang sunyi—ruang digital yang gemerlap tapi sering menipu.
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari semangat kesadaran kolektif, dari ruang sempit kos-kosan di Jakarta, bukan dari ruang maya yang penuh filter. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Di tangan mereka, Indonesia lahir dari kata “kita”, bukan dari kata “aku”.
Kini, hampir seabad berlalu, semangat itu diuji dalam bentuk baru: generasi yang terkoneksi tapi terasing, serba cepat tapi kehilangan arah. Generasi yang pintar berbicara di media sosial, tapi kadang gagap ketika berhadapan langsung. Ilusi digital telah menipu banyak jiwa muda, membuat mereka percaya bahwa eksistensi cukup diukur dari jumlah followers dan engagement rate.
Fenomena ini disebut para sosiolog sebagai ilusi konektivitas—terhubung secara teknologi, tapi tidak secara empati. Kita punya ribuan teman di dunia maya, tapi tak satu pun yang benar-benar mengenal kita. Kita berbicara setiap hari, tapi jarang benar-benar mendengarkan. Dalam pandangan Sherry Turkle (2011) dalam Alone Together, teknologi membuat kita “bersama tapi sendiri”.
Di Indonesia, Gen Z kini menjadi hampir 28% populasi. Mereka lahir dan tumbuh dalam arus digital, menguasai teknologi, tapi sering terjebak dalam delusi digital—yakni keyakinan palsu bahwa dunia maya adalah cerminan realitas. Padahal, apa yang tampak di layar hanyalah potongan-potongan citra, bukan kehidupan sesungguhnya.
















