Delusi digital inilah yang membuat banyak anak muda kehilangan kompas nilai. Mereka terperangkap dalam budaya instan, validasi cepat, dan eksposur tanpa makna. Sementara di belahan dunia lain, seperti di China, anak muda dididik dengan disiplin digital yang tegas. Mereka membangun perusahaan teknologi, inovasi kecerdasan buatan, dan kemandirian industri—bukan sekadar jadi pengguna algoritma, tapi penciptanya.
Perbedaan itu bukan karena kecerdasan, tapi karena arah pendidikan dan regulasi. Pemerintah China memahami bahwa masa depan bukan ditentukan oleh siapa yang paling sering scrolling, tapi siapa yang mampu mengendalikan data dan algoritma. Maka negara hadir sebagai penjaga ekosistem digital, bukan penonton.
Lalu bagaimana dengan kita? Indonesia sedang memanen bonus demografi, tapi belum siap dengan bonus digitalnya. Kita punya jutaan pemuda, tapi sebagian besar masih jadi konsumen dari sistem yang mereka tidak kuasai. Mereka sibuk membuat konten, tapi jarang membangun konteks. Sibuk memoles citra, tapi abai terhadap nilai.
Padahal, Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, melainkan ajakan untuk berpikir bersama demi masa depan bersama. Dalam kacamata sosiologi, pemuda adalah agen perubahan sosial (agent of change). Dalam pandangan agama, mereka pemilik energi amal dan keberanian moral. Nabi Ibrahim muda menghancurkan berhala-berhala palsu; kini, tantangan pemuda adalah menghancurkan berhala digital—likes, views, dan ego.
“Jangan jadikan tanganmu menulis sesuatu yang tidak akan kau baca dengan tenang di akhirat nanti.”
— Al-Ghazali
Kita butuh “Sumpah Nilai” baru. Sumpah untuk tidak kehilangan makna di tengah derasnya informasi. Sumpah untuk tetap manusia di tengah mesin yang berpikir. Sumpah untuk tetap beriman di tengah godaan eksistensi semu.
Pemuda sejati bukan yang viral di media sosial, tapi yang berani berpikir jernih ketika semua orang berlomba bersuara. Bukan yang ramai di dunia maya, tapi yang nyata dalam karya dan tanggung jawab.
Menjelang Indonesia Emas 2045, sejarah menunggu generasi yang bukan hanya cakap teknologi, tapi juga tangguh nilai. Karena bangsa tidak akan hancur oleh kekurangan followers, tapi oleh kehilangan arah moral.
Mari kita perbarui sumpah itu, bukan di podium, tapi di dalam hati: bahwa kita akan tetap menjadi manusia yang sadar, berakal, dan beradab — bukan sekadar makhluk digital.
🩵 “Pemuda sejati bukan yang viral di layar, tapi yang hidupnya bermakna di dunia nyata.”
















