Untuk para penagih: Jika wajahmu membuat seorang ibu lebih takut daripada ancaman neraka, barangkali kau bukan lagi manusia, melainkan bayangan maut yang dikirim dunia.
Untuk masyarakat: Kita lebih cepat menekan tombol “share” di WhatsApp daripada mengetuk pintu tetangga. Kita lebih suka membicarakan gosip utang orang lain di warung daripada menyodorkan sekantong beras. Inikah yang kita sebut “gotong royong”?
Untuk negara: Apa gunanya surplus fiskal, pertumbuhan PDB, dan jargon financial inclusion, bila seorang ibu mati karena utang yang bahkan bukan miliknya? Statistik memang indah di kertas, tapi air mata rakyat tidak pernah masuk grafik BPS.
Neraka Ada di Kita
Kalimat terakhir sang ibu—“leuwih Rido ka Naraka”—sejatinya bukan pesan pribadi. Itu adalah cermin retak yang memantulkan wajah kita semua. Wajah saya. Wajah Anda. Wajah bangsa ini.
Kita terlalu sering sibuk berdoa panjang di sepertiga malam, tapi tuli terhadap jeritan di rumah sebelah. Kita terlalu rajin bersedekah untuk dipotret, tapi malas merangkul tetangga yang diam-diam runtuh.