TERASJABAR.ID – Di dunia ini, ada orang yang sejak lahir tampak dimudahkan oleh semesta entah karena lahir di keluarga berada, memiliki akses pendidikan terbaik, atau dikelilingi koneksi yang menunjang.
Sementara itu, ada pula yang hidupnya seakan meniti tangga satu per satu dari bawah, membangun segalanya dari nol.
Inilah yang tergambar dalam kalimat:
“Beberapa orang terlahir beruntung, dan beberapa orang lagi terlahir untuk mencari keberuntungan.”
Kalimat ini tidak bertujuan membandingkan siapa yang lebih unggul, melainkan menyadarkan kita bahwa garis start tiap manusia memang tidak sama. Tapi bukan berarti hasil akhirnya tidak bisa setara, atau bahkan melampaui.
Mereka yang “terlahir beruntung” biasanya sudah memiliki modal awal baik secara finansial, pendidikan, atau dukungan sosial. Namun, mereka yang “terlahir untuk mencari keberuntungan” seringkali memiliki modal mental membaja.
Psikolog menyebutnya resiliensi—kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Orang yang terbiasa berjuang sejak awal cenderung lebih tangguh, tidak cepat menyerah, dan lebih menghargai proses.
Kalimat ini juga punya nada filosofis. Ia mengakui bahwa tak semua hal adil, tapi semua bisa jadi bermakna. Mungkin kamu tidak bisa memilih tempat lahirmu, tapi kamu bisa memilih arahmu ke mana.
Orang yang terlahir beruntung mungkin terlihat “instan”, tapi mereka pun menghadapi tekanan tersendiri: ekspektasi tinggi, ketergantungan pada privilege, atau krisis identitas.
Sementara mereka yang harus mencari keberuntungan, meski lambat dan berat, akan tumbuh dengan mental kuat dan rasa syukur yang mendalam.
Apapun jalurmu diberi keberuntungan atau harus mencarinya yang terpenting adalah kamu tidak berhenti berjalan.
Karena pada akhirnya, keberuntungan bukan hanya soal apa yang kamu miliki saat lahir, tapi apa yang kamu pilih untuk jadi dan lakukan sepanjang hidupmu.***