Begitu pula dengan sedekah dan kebaikan. Ketika kita memberi dengan ikhlas, memudahkan orang yang kesulitan, atau menolong tanpa pamrih, sejatinya kita sedang menabung bagaimana cara Allah memperlakukan kita. Allah berjanji melipatgandakan balasan bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga ketenangan hati, jalan keluar yang tak terduga, dan pertolongan di saat paling sempit.
Masalahnya, di era hari ini, empati sering kalah oleh ego. Media sosial membiasakan kita menghakimi cepat, mengomentari tanpa memahami, dan menyebarkan cerita tanpa tabayyun. Kita lupa bahwa setiap sikap kita sedang direkam, bukan hanya oleh algoritma, tapi oleh langit.
Imam Ibnul Qayyim pernah menulis bahwa Allah menjadikan balasan amal “serupa bentuknya”, agar manusia mudah bercermin. Jika hidup terasa keras, boleh jadi karena kita sering mengeraskan hati. Jika hidup terasa sempit, mungkin karena kita jarang melapangkan orang lain. Dan jika doa terasa berat terkabul, bisa jadi karena kita pelit memaafkan dan memudahkan orang lain.
Bukan berarti setiap musibah adalah hukuman. Tetapi setiap peristiwa adalah undangan untuk muhasabah. Allah Maha Lembut dalam mendidik hambaNya kadang lewat ayat, kadang lewat manusia lain.
Maka, jika hari ini kita ingin lebih banyak ampunan, mari lebih banyak memaafkan. Jika ingin hidup dipermudah, mudahkanlah orang lain. Jika ingin aib ditutup, tahanlah lisan dan jari kita dari membuka aib sesama. Karena sesungguhnya, Allah tidak pernah zalim. “Ia hanya memantulkan kembali apa yang kita kirimkan”.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah akan menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)
Langit sedang bercermin kepada kita. Dan bumi sedang menunggu pilihan kita hari ini, ingin diperlakukan seperti apa kita oleh Allah?

















