Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial / Magister Komunikasi UBakrie
Hidup Tanpa Ritme Alami :
Hari ini, hidup seakan kehilangan tempo. Notifikasi berdatangan, konten baru muncul tiap detik, isu trending berganti tanpa henti. Siang dan malam tak lagi terasa berbeda. Kita tidak sedang mengatur waktu, justru waktulah—yang digerakkan algoritma—yang mengatur hidup kita.
Manuel Castells menyebut kondisi ini sebagai timeless time: waktu yang tak lagi berputar secara wajar, melainkan terus berjalan tanpa henti. Generasi muda lahir di tengah realitas ini. Mereka tumbuh dalam dunia yang selalu aktif, serba cepat, dan penuh tekanan untuk mengikuti ritme digital yang dipaksakan.
Algoritma sebagai “Jam Baru”
Dulu, jam weker dan kalender jadi penanda ritme hidup. Sekarang, gawai dengan notifikasi dan trending topic yang menentukan kapan kita bangun, kapan ikut belajar daring, kapan ikut marah karena isu politik.
Algoritma menjadi semacam “jam baru” yang tidak terlihat tetapi sangat dominan. Ia mengatur pola tidur, jenis hiburan, bahkan emosi yang kita ekspresikan. Kekuasaan algoritma bekerja diam-diam, membuat manusia seolah bebas memilih, padahal sesungguhnya sedang diarahkan.
Generasi yang Terjebak Instan :
Di bawah kendali algoritma, budaya instan makin kuat:
• Belajar singkat. Video edukasi kilat dianggap cukup untuk memahami hal yang kompleks.
• Hiburan cepat. Video pendek lebih digemari dibanding bacaan panjang.
• Karier instan. Harapan menjadi terkenal sering digantungkan pada keberuntungan sekali viral.