Segala sesuatu terasa mungkin, tetapi daya tahan menghadapi proses panjang melemah. Popularitas datang dan pergi dengan cepat, membuat anak muda sering kehilangan kesabaran untuk bertumbuh secara konsisten.
Mental yang Mudah Rapuh :
Kondisi ini menekan sisi psikologis generasi muda:
• FOMO. Rasa takut tertinggal tren membuat cemas berlebihan.
• Perbandingan sosial. Melihat pencapaian orang lain di media sosial memicu rasa tidak cukup.
• Sulit fokus. Terbiasa konten singkat membuat konsentrasi cepat buyar.
• Lelah digital. Meski capek, sulit menghentikan diri dari layar.
Teknologi yang dijanjikan membawa kebebasan justru melahirkan jerat baru: penjara atensi.
Politik yang Tak Lepas dari Algoritma :
Politik juga tak kebal dari logika ini. Pemilu kini tak hanya berlangsung di panggung debat, tapi juga di layar ponsel. Kandidat sibuk merespons isu dengan cepat di TikTok atau Instagram.
Potongan video lebih membentuk opini ketimbang visi-misi yang panjang. Hoaks menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasinya. Mesin buzzer bekerja dengan logika percepatan: yang penting trending, bukan mendidik publik.
Demokrasi yang semestinya memberi ruang musyawarah, justru berubah menjadi lomba kecepatan narasi.
Ilusi Kebebasan :
Kita sering merasa media sosial memberi kebebasan: siapa pun bisa bersuara. Faktanya, ruang itu dikendalikan algoritma yang menyortir mana yang muncul dan mana yang tenggelam.
Paradoks pun lahir. Kita percaya memilih dengan bebas, padahal arah sudah ditentukan platform. Demokrasi yang dijanjikan dunia digital justru tergelincir menjadi politik kecepatan, di mana “siapa cepat, dia berkuasa.”