- Namun, di sisi lain, banyak netizen yang menyayangkan tren ini. Mereka merasa bahwa menggambar garis merah di atas kepala, meskipun hanya untuk bercanda, bisa diartikan sebagai bentuk kebanggaan dalam mengumbar pengalaman pribadi yang seharusnya sensitif. Dalam konteks budaya tertentu, khususnya di Indonesia, hubungan intim di luar pernikahan sering dianggap tabu dan bertentangan dengan nilai agama, seperti dalam Islam yang melarang zina. Seorang pengguna X mengungkapkan kekhawatirannya, “Tren S-Line ga lucu deh guys untuk dimainin… ini bukan trend yg bisa dibercandain gitu aja,” menyoroti bahwa tren ini bisa memicu persepsi negatif terhadap pelaku, terutama perempuan, yang rentan mendapat penghakiman sosial.
- Potensi Normalisasi Perilaku Zina
Kontroversi terbesar dari tren “S-Line” adalah kekhawatiran bahwa fenomena ini dapat menjadi langkah awal dalam menormalisasi perilaku yang dianggap menyimpang, seperti zina. Dalam drama S-Line, garis merah tidak hanya menjadi simbol hubungan intim, tetapi juga memicu kekacauan sosial, seperti kecemburuan, pengkhianatan, hingga pembunuhan berantai, karena rahasia pribadi terbongkar. Realitas ini tercermin dalam perdebatan di dunia nyata, di mana beberapa netizen menilai bahwa tren ini meremehkan nilai-nilai moral. Sebuah artikel di Kompasiana menyebutkan bahwa tren ini bisa berdampak buruk, terutama pada perempuan, yang sering menjadi target pelecehan atau penghakiman sosial jika dikaitkan dengan “garis merah” dalam jumlah banyak. Dalam Islam, wanita dijunjung tinggi, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu, sehingga tren ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Meski demikian, ada pula yang berpendapat bahwa tren ini hanyalah bagian dari budaya digital yang suka mengambil inspirasi dari hiburan populer tanpa maksud mendalam. Namun, tanpa disadari, tren ini bisa memengaruhi persepsi masyarakat, terutama generasi muda, terhadap isu sensitif seperti seksualitas
Page 2 of 2