TERASJABAR.ID – Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, soal penolakan menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi sorotan.
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, gaya komunikasi Purbaya yang langsung dan lugas menunjukkan upaya menghadirkan kejujuran berpikir dalam menyederhanakan persoalan kompleks negara.
Namun, gaya komunikasi seperti ini juga berpotensi melahirkan populisme baru yang mengabaikan rasionalitas kritik terhadap kekuasaan.
“Sikap Purbaya logis karena sejak awal proyek kereta cepat bukan inisiatif negara lewat APBN, melainkan kerja sama B2B antara konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan Cina dalam KCIC,” ungkap Ubedilah dalam tayangan YouTube Forum Keadilan TV bertitel “UBEDILAH BADRUN: PURBAYA BONGKAR PROYEK JANGGAL JOKOWI”
Karena itu, tanggung jawab pembayaran utang kepada China Development Bank seharusnya berada di tangan BUMN dan konsorsium tersebut, bukan APBN.
BACA JUGA: Misbakhun Apresiasi Langkah Prabowo Tunjuk Purbaya sebagai Menkeu, Bukti Sistem Bukan Figur
Namun, kurangnya komunikasi antara Menteri Keuangan dan pihak Danantara (holding BUMN) menimbulkan kesan adanya pertentangan.
Menurut Ubed, hal ini berbahaya karena proyek yang semula diklaim sebagai proyek strategis nasional kini justru menjadi beban keuangan besar.
Dengan utang lebih dari Rp100 triliun dan kerugian tahunan sekitar Rp4,1 triliun, proyek ini tidak menunjukkan prospek bisnis yang sehat.
Ia mengingatkan bahwa sejak awal, Jepang sebenarnya menawarkan proyek dengan bunga rendah hanya 0,1% untuk tenor 40 tahun, meski biayanya sedikit lebih besar.
Namun, Indonesia justru memilih tawaran Cina dengan bunga 2%, karena tampak lebih murah di awal.
Sayangnya, di tengah jalan biaya proyek membengkak US$1,6 miliar.
Ubed juga menilai ada potensi masalah serius, –bahkan korupsi– karena pembengkakan biaya yang besar tanpa alasan jelas.
Ia menilai KPK perlu turun tangan mengawasi karena proyek rugi ini sudah menjadi beban berat bagi BUMN dan berpotensi merugikan negara.
Lebih jauh, ia menilai jika Danantara tidak sanggup menanggung utang, maka restrukturisasi ke Bank Pembangunan Cina pun sulit dilakukan.
Jika restrukturisasi gagal, kemungkinan terburuk adalah Cina mengambil alih penuh proyek KCIC, yang berarti aset transportasi strategis Indonesia bisa dikuasai pihak asing.
Kondisi ini, kata Ubed, merupakan ancaman terhadap kedaulatan nasional.
Menurutnya, tanggung jawab utama atas kekacauan proyek ini ada pada Presiden Joko Widodo, karena keputusan berpindah dari Jepang ke Cina diambil pada masa pemerintahannya.
Jika terbukti ada praktik transaksional atau korupsi di balik keputusan itu, maka Jokowi harus dimintai pertanggungjawaban hukum.
Ubed juga menilai APBN tidak boleh menanggung utang KCIC karena beban bunga utang negara sudah sangat tinggi, sekitar Rp599 triliun per tahun hanya untuk bunga utang nasional.
Jika ditambah beban kereta cepat, APBN akan jebol dan ekonomi bisa lumpuh.
Ia menilai langkah Purbaya sudah benar dalam menjaga kredibilitas dan kesehatan fiskal negara.
Tantangan terbesar kini ada di Danantara, apakah mampu menyehatkan kembali proyek ini atau justru menyeret BUMN lain ke jurang kerugian.
Selain itu, Ubed menilai Prabowo Subianto tampaknya memberi dukungan penuh pada langkah Purbaya yang tegas, sebagai bagian dari upaya menertibkan proyek-proyek strategis nasional bermasalah.
Ia juga menyinggung bahwa banyak proyek strategis lain pada era Jokowi yang diduga bermasalah, transaksional, dan menguntungkan oligarki.
Akhirnya, Ubed menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap para pejabat dan pihak terkait proyek ini, termasuk mantan presiden, jika terbukti merugikan negara.
Jika lembaga penegak hukum seperti KPK dan kejaksaan tidak berani bertindak, rakyat bisa kehilangan kepercayaan pada hukum dan mencari jalannya sendiri untuk menuntut keadilan.-***