TERASJABAR.ID – Gelombang demonstrasi yang terjadi selama sepekan terakhir mulai memberi tekanan nyata terhadap kondisi ekonomi nasional.
Selain menimbulkan korban jiwa, gejolak ini juga mengganggu stabilitas sosial dan aktivitas bisnis di sejumlah wilayah penting.
Di pasar keuangan, indikator-indikator utama segera merespons situasi dengan sinyal negatif yang cukup mencolok.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat mengalami volatilitas tajam yang mencerminkan kekhawatiran investor.
Tidak hanya itu, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika juga menunjukkan pergerakan yang penuh ketidakpastian.
Sementara itu, sektor riil pun turut terdampak karena aktivitas bisnis di kota besar terganggu akibat aksi massa.
Pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan titik unjuk rasa terpaksa menutup operasional demi alasan keamanan.
Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan bahwa distribusi barang dan jasa ikut terhambat karena adanya pengalihan arus lalu lintas.
Menurut analisis para ekonom, kerusakan ekonomi yang lebih luas masih bisa diminimalisir sepanjang ada langkah cepat dari pemerintah.
Faktor kunci yang menentukan arah selanjutnya adalah kecepatan dan ketepatan respons otoritas negara dalam menenangkan situasi.
Di sisi pasar modal, IHSG sempat anjlok 3,55 persen pada awal perdagangan Senin, 1 September 2025.
Meski begitu, tekanan jual mulai mereda sehingga indeks menutup sesi pertama dengan pelemahan hanya 0,76 persen di level 7.770,98.
Di waktu yang sama, Rupiah justru bergerak lebih stabil dan bahkan menguat tipis 0,17 persen menjadi Rp16.472 per dolar AS.
Ekonom Universitas Pasundan, Acuviarta, menilai gejolak ini lebih banyak memengaruhi indikator yang sifatnya fluktuatif seperti saham dan valuta.
Namun, ia juga memperingatkan bahwa sektor perdagangan dan jasa adalah yang paling rentan terkena imbas langsung dari demonstrasi.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah cepat pemerintah membuka dialog dengan publik untuk menjaga momentum stabilitas ekonomi.***