TERASJABAR.ID – Dugaan praktik hedonisme di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjadi sorotan publik setelah mencuatnya laporan terkait penyewaan pesawat jet pribadi (private jet) oleh jajaran pimpinan lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Penggunaan jet pribadi itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan operasional pemilu, melainkan lebih menyerupai gaya hidup mewah yang dipertontonkan ke khalayak.
Pengaduan resmi mengenai dugaan pelanggaran ini telah diajukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam aduan itu, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin bersama sejumlah anggota KPU lainnya serta Sekretaris Jenderal KPU RI disebut terlibat dalam penggunaan fasilitas mewah yang diduga dibiayai dengan anggaran negara.
Menurut para pengadu, alasan yang digunakan KPU untuk menyewa jet pribadi, –yakni mendukung distribusi logistik Pemilu 2024– tidak masuk akal.
BACA JUGA: Kemendikdasmen Beri Bantuan Guru PAUD Maksimal Rp3 Juta, Berlaku Dua Semester
Sebab, pada kenyataannya distribusi logistik pemilu dapat dilakukan dengan menggunakan moda transportasi lain yang lebih efisien, hemat biaya, dan sesuai prosedur.
Alih-alih digunakan untuk kepentingan teknis pemilu, pesawat jet pribadi tersebut dipandang lebih sebagai sarana kenyamanan dan gaya hidup para pejabat KPU.
Anggaran Fantastis dan Inkonsistensi Waktu
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah adanya alokasi anggaran dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) sebesar Rp49,19 miliar untuk paket sewa kendaraan distribusi logistik.
Namun, dalam dokumen itu tidak dijelaskan secara rinci jenis kendaraan apa yang dimaksud maupun jadwal pasti pengadaannya.
Ketidakjelasan ini menimbulkan kecurigaan adanya penyalahgunaan anggaran.
Bahkan, terindikasi adanya kejanggalan dalam jadwal pelaksanaan pengadaan.
Disebutkan bahwa pengadaan diumumkan pada November 2024, tetapi faktanya kegiatan penyewaan telah dilakukan sejak Januari–Februari 2024.
Inkonsistensi ini memperkuat dugaan adanya rekayasa dalam proses administrasi, sehingga membuka ruang praktik penyalahgunaan.
BACA JUGA: Atasi Dampak Tambang Ilegal, Gubernur Jabar Pangkas Rantai Distribusi Material
Lebih lanjut, informasi yang beredar menyebutkan bahwa penyewaan jet pribadi tersebut tidak berhenti pada Februari 2024 saja, melainkan berlanjut hingga bulan Juni 2024.
Padahal, pada periode tersebut tahapan distribusi logistik pemilu telah selesai.
Dengan demikian, alasan penggunaan pesawat untuk mendukung distribusi logistik menjadi semakin tidak relevan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai tujuan sebenarnya dari penyewaan itu.
Dugaan Mark-Up dan Perusahaan Bermasalah
Selain soal waktu dan penggunaan, laporan pengadu juga menyoroti kejanggalan dalam kontrak pengadaan.
Ada dua kontrak pengadaan yang diberikan kepada penyedia bernama PT Alfalima Cakrawala Indonesia dengan total nilai mencapai Rp65,49 miliar. Angka ini jauh lebih besar daripada pagu anggaran yang tercantum dalam RUP, yaitu hanya Rp46,19 miliar.
Dengan demikian, terdapat selisih sekitar Rp19 miliar yang diduga sebagai praktik mark-up.
Yang lebih mengkhawatirkan, PT Alfalima Cakrawala Indonesia baru berdiri pada 2022.
Perusahaan ini diklasifikasikan sebagai usaha kecil dan tidak memiliki rekam jejak pengalaman dalam mengerjakan proyek-proyek besar pemerintah, apalagi terkait tender strategis seperti distribusi logistik pemilu.
Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa kontrak tersebut bermasalah sejak awal dan mungkin dipaksakan demi kepentingan pihak-pihak tertentu di internal KPU.
Potensi Kerugian Negara
Penggunaan anggaran negara untuk kebutuhan yang tidak sesuai peruntukan jelas merupakan pemborosan. Namun dalam kasus ini, skandal penyewaan private jet dinilai lebih dari sekadar pemborosan.
Nilai kontrak yang jauh melampaui pagu anggaran resmi serta dugaan adanya mark-up memperlihatkan potensi kerugian negara dalam jumlah besar.
Selain itu, praktik semacam ini mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga penyelenggara pemilu.
KPU, –yang memiliki mandat besar untuk memastikan jalannya pesta demokrasi secara jujur, adil, dan bersih– justru terjerat isu penyalahgunaan anggaran.
Jika dugaan ini terbukti, maka bukan hanya keuangan negara yang dirugikan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu akan semakin terkikis.
Kasus ini sekaligus menegaskan adanya budaya hedonisme yang masih bercokol di tubuh lembaga negara.
Penggunaan fasilitas mewah dengan dalih kebutuhan dinas menjadi catatan negatif yang sulit dihapus.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, isu ini bisa menurunkan legitimasi KPU sebagai lembaga independen yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi pejabatnya.
Ke depan, sidang DKPP diharapkan mampu mengungkap secara tuntas kebenaran dari tuduhan ini.
Apabila terbukti, langkah tegas berupa sanksi etik maupun hukum perlu diambil agar menjadi pelajaran penting, tidak hanya bagi KPU tetapi juga bagi seluruh penyelenggara negara.
Transparansi dan integritas harus dijaga demi keberlangsungan demokrasi yang sehat di Indonesia.-***