Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menulis bahwa inti dari siyasah adalah ri’ayah syu’unil ummah — mengurus urusan umat dengan kebijaksanaan dan keadilan.
Rasulullah ﷺ pun mengingatkan:
“Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini adalah peringatan tentang tanggung jawab sosial dan politik.
Ketika politik diserahkan pada yang belum berilmu, ketika suara diukur dari jumlah pengikut, bukan kedalaman pikir, maka kehancuran itu hanya menunggu waktu.
Politik Digital dan Kekosongan Nilai:
Fenomena “OK Gas” hanyalah gejala dari dunia digital yang kehilangan kompas moral. Kita hidup dalam ekosistem algoritmik yang memanjakan reaksi, bukan refleksi. Media sosial memberi kebebasan berbicara, tapi sekaligus menjerat kita dalam ruang gema (echo chamber) tempat ide yang sama berputar tanpa arah.
Politik lalu berubah menjadi konten.
Yang penting lucu, bukan bermakna.
Yang penting ramai, bukan benar.
Yang penting viral, bukan visioner.
Seperti diingatkan Frank Pasquale dalam The Black Box Society (2015), algoritma telah menjadi kekuatan tak terlihat yang menentukan apa yang kita tahu, pikirkan, dan percayai — tanpa kita sadari. Di sinilah bahaya itu tumbuh: ketika kesadaran politik dibentuk bukan oleh ilmu dan pengalaman, tetapi oleh engagement rate.
Anak Muda Antara Energi dan Arah:
Kita tidak kekurangan generasi muda yang berani, tapi kita kekurangan generasi muda yang tahu mengapa mereka harus berani. Mereka punya energi besar, tapi kurang arah nilai.
Punya semangat, tapi kehilangan fondasi moral.
Anthony Giddens dalam The Constitution of Society menjelaskan bahwa perilaku manusia selalu dibentuk oleh struktur sosial yang tak kasat mata.
Hari ini, struktur itu adalah algoritma — yang mengatur apa yang kita lihat, siapa yang kita ikuti, bahkan apa yang kita anggap penting.